Kata Pakintaki Kian Populer di Masyarakat Sulsel, Berpotensi Masuk KBBI

Kata Pakintaki Kian Populer di Masyarakat Sulsel, Berpotensi Masuk KBBI

Taufik Hasyim - detikSulsel
Kamis, 17 Feb 2022 17:19 WIB
Aldi, pemuda asal Jeneponto, Sulsel yang membuat viral kata pakintaki. (dok. Istimewa)
Foto: Aldi, pemuda asal Jeneponto, Sulsel yang membuat viral kata pakintaki. (dok. Istimewa)
Makassar -

Kosakata suku Makassar, pakintaki viral di media sosial dan kian populer digunakan masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel) khususnya Kota Makassar. Kata itu dinilai berpotensi masuk daftar kosakata baru Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

"Bisa saja masuk bila memenuhi syarat yang ditetapkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Banyak juga diksi bahasa daerah yang masuk KBBI," ungkap Pakar Ilmu Linguistik Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr Ery Iswari kepada detikSulsel, Kamis (17/2/2022).

Dosen Sastra Unhas ini menuturkan selama ini kosakata Bugis Makassar yang dimasukkan dalam entri leksikal mayoritas makanan khas daerah. Seperti coto, konro, pisang epek. Termasuk siri itu sudah masuk di entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau pakintaki kemudian viral dan bisa diterima secara skala nasional tentu ini bagus. Apalagi juga bila pakintaki dari kata dasar kinta ini bisa masuk diterima di KBBI," jelasnya.

Menurutnya pengusulan atau entri kosakata baru bisa dilakukan secara daring. Namun usulan ini akan dinilai pihak Badan Bahasa Kemendikbud. Bila memenuhi syarat akan diterima sebagai kosakata baru.

ADVERTISEMENT

"Bila kita bisa menjelaskan dan meyakinkan apalagi bila pakintaki tidak ada padanan kata yang pas mewakili dalam bahasa Indonesia dan unik secara kultural bisa saja diterima," jelasnya.

Ia mencontohkan kosakata bahasa Jawa yang viral seperti ambyar kini juga sudah masuk KBBI. Kata-kata gaul seperti lebay juga sudah masuk KBBI.

"Usulan atau entri biasanya dibuka April dan Oktober. Nanti dievaluasi Badan Bahasa Kemendikbud. Prosesnya seperti itu," bebernya.

Dikutip detikSulsel, Kamis (17/2) dari laman Badan Pemngembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, ada 5 syarat bagaimana sebuah kata masuk ke KBBI.

1. Unik

Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah, maupun bahasa asing, memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang leksikal (lexical gap), kekosongan makna dalam bahasa Indonesia, contohnya tinggimini, yaitu sebuah tradisi beberapa suku di Papua, seperti Muyu dan Dani berupa pemotongan jari tangan untuk menunjukkan kekecewaan atau duka mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

2. Eufonik (sedap didengar)

Kata yang diusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh oleh penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu, contohnya akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Indonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.
Misalnya : ojeg > ojek, keukeuh > kekeh

3. Seturut kaidah bahasa Indonesia

Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan. Misalnya, kundur > (ter)kunduri

4. Tidak berkonotasi negatif

Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif.

5. Kerap dipakai

Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap pakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas, contohnya kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi serta frekuensi kemunculannya juga tinggi. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa laman seperti Googletrends dan Google search.

(tau/nvl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads