Pendaki wanita bernama Claudia Steffensen menemukan sebuah fragmen ekosistem berusia 280 juta tahun di pegunungan Alpen, Italia. Fragmen itu dilengkapi dengan jejak kaki, fosil, tanaman, bahkan jejak tetesan air hujan.
Dilansir dari detikINET, Claudia sedang berjalan di belakang suaminya di Taman Pegunungan Valtellina Orobie di Lombardy, Italia. Saat itu, ia merasa menginjak sebuah batu yang terlihat seperti lempengan semen.
"Saya kemudian melihat desain melingkar aneh dengan garis-garis bergelombang. Saya melihat lebih dekat dan menyadari bahwa itu adalah jejak kaki," ucap Claudia dikutip dari The Guardian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengetahui penemuan itu, para pakar meneliti batu tersebut dan menemukan jika kaki itu milik reptil prasejarah. Penemuan ini menciptakan pertanyaan perihal petunjuk lain apa di luar 'titik nol batu' tersebut, yang ada di balik dataran tinggi Alpen.
Kemudian para ahli mengunjungi tempat itu dan mendapatkan beberapa bukti jika seluruh ekosistem yang berasal dari periode Permian, sekitar 299 juta hingga 252 juta tahun silam. Waktu ini ditandai dengan iklim yang menghangat dengan cepat dan berpuncak pada peristiwa kepunahan yang dikenal sebagai 'Great Dying' atau kematian besar yang memusnahkan 90 persen spesies Bumi.
Penemuan ekosistem ini terdiri dari jejak fosil, reptil, amfibi, serangga, dan artopada yang sering kali sejajar membentuk 'jejak'. Selain itu, para peneliti menemukan jejak kuno benih, daun, dan batang, serta jejak tetesan air hujan dan ombak yang menjilati tepi danau prasejarah tersebut.
Bukti ekosistem ini ditemukan hingga ketinggian 3.000 meter di pegunungan dan di dasar lembah. Di mana lokasi tanah longsor yang telah mengendapkan batuan yang mengandung fosil selama ribuan tahun.
Ekosistem yang terbentuk dari butir pasir yang halus ini mempunyai pelestarian yang menakjubkan. Hal ini berkat kedekatannya dengan air di masa lalu.
"Jejak kaki tersebut terbentuk saat batu pasir dan serpih ini masih berupa pasir dan lumpur yang terendam air di tepi sungai dan danau, yang secara berkala, sesuai musim, mengering," ujar Ausonio Ronchi, seorang paleontolog di Pavia University di Italia yang meneliti fosil tersebut.
"Matahari musim panas, yang mengeringkan permukaan tersebut, mengeraskannya hingga kembalinya air baru tidak menghapus jejak kaki tersebut, tetapi sebaliknya, menutupinya dengan tanah liat baru, membentuk lapisan pelindung," jelasnya.
Dari hasil pernyataan itu, pasir dan rumput yang halus ini membuat partikel-partikel terkecil ini menjadi awet. Termasuk bekas cakaran dan pola dari bagian bawah perut hewan.
Para ilmuwan menyebut jika jejak-jejak tersebut berasal dari sedikitnya lima spesies hewan yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah yang telah mencapai ukuran komodo modern (Varanus komodoensis), yang tumbuh sekitar 2-3 meter.
"Pada saat itu, dinosaurus belum ada, tetapi hewan yang bertanggung jawab atas jejak kaki terbesar yang ditemukan di sini pasti masih berukuran cukup besar," jelas Cristiano Dal Sasso, seorang paleontolog vertebrata di Natural History Museum of Milan yang merupakan ilmuwan pertama yang dihubungi perihal penemuan tersebut.
"Fosil-fosil tersebut menawarkan jendela untuk melongok ke dunia yang telah lama hilang, yang penghuninya punah pada akhir Permian. Temuan ini juga dapat mengajari kita tentang masa-masa yang kita jalani sekarang," ujar para peneliti dalam pernyataan mereka.
Berdasarkan penemuan ini, banyak jejak prasejarah yang ditemukan akan tetap tersembunyi jika bukan karena perubahan iklim yang dengan cepat mengurangi lapisan es dan salju di Pegunungan Alpen.
"Fosil-fosil ini menjadi saksi bisu periode geologis yang jauh, tetapi dengan tren pemanasan global yang sama sekali mirip dengan yang terjadi saat ini. Masa lalu mengajarkan kita banyak hal tentang risiko yang akan kita hadapi di dunia saat ini," kata peneliti.
(asm/ata)