Nasib Suku Tobelo Dalam Kehilangan Habitat gegara Tambang

Maluku Utara

Nasib Suku Tobelo Dalam Kehilangan Habitat gegara Tambang

Nurkholis Lamaau - detikSulsel
Kamis, 30 Mei 2024 07:30 WIB
3 Orang Suku Tobelo Dalam mendatangi kawasan lingkar tambang di wilayah Koroahe, Halmahera, Maluku Utara. Dokumen Istimewa
Foto: 3 Orang Suku Tobelo Dalam mendatangi kawasan lingkar tambang di wilayah Koroahe, Halmahera, Maluku Utara. Dokumen Istimewa
Halmahera Tengah -

Suku Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa yang hidup di belantara hutan Halmahera, Maluku Utara, belakangan ini menyita perhatian publik setelah kemunculan mereka di wilayah konsesi tambang nikel. Rupanya, ruang hidup mereka kian menipis akibat aktivitas tambang.

Dalam catatan pemberitaan detikcom, warga Suku Tobelo Dalam sempat muncul di Sungai Ake Sangaji, Desa Waijoi, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur pada Kamis (26/10/2023) lalu. Saat itu, warga suku mengadang buldoser milik perusahaan kayu.

Memasuki Mei 2024, Suku Tobelo Dalam kembali menyita perhatian setelah tiga warganya muncul di area konsesi tambang nikel di Halmahera Tengah. Kemunculan tiga warga Suku Tobelo Dalam itu terekam video hingga beredar luas di media sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam video beredar, tampak 3 orang suku Tobelo Dalam atau O'Hongana Manyawa yang mendiami belantara hutan Halmahera itu mendatangi area pertambangan. Mereka disambut dengan ucapan Hobata yang berarti kawan oleh para pekerja tambang, lalu diajak masuk ke sebuah bangunan dan dijamu makan.

Warga Suku Tobelo Dalam Kehilangan Habitat

Kemunculan tiga warga Suku Tobelo Dalam itu turut ditanggapi oleh aktivis Masyarakat Adat di Maluku Utara, Munadi Kilkoda. Dia menuding kehadiran warga Suku Tobelo Dalam itu karena hutan sebagai ruang hidupnya telah hilang tergerus aktivitas pertambangan.

ADVERTISEMENT

"Ya, mereka kehilangan habitat penting itu yang sekian tahun lamanya menopang hidup mereka, habitat yang mereka pertahankan sebagai rumah dan karena itu, habitat tersebut berkontribusi terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem lainnya," ujar Munadi Kilkoda kepada detikcom, Senin (27/5/2024).

Munadi menuturkan rekaman video tersebut adalah satu dari sekian banyak potret penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Dia pun tidak ragu menyebut sejumlah perusahaan tambang.

"Video tersebut adalah satu dari sekian banyak potret penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan tambang PT WBN, PT HSM, maupun PT Tekindo di kawasan Kaorahe, Akejira, dan Sakaulen yang selama ini dikenal sebagai tempat hidup O' Hongana Manyawa," ujar Munadi.

Peneliti Ungkap Risiko Genosida

Kemunculan tiga warga Suku Tobelo Dalam itu turut mengundang perhatian dari Peneliti dan Advokasi Asia dari Survival International, Callum Rusel. Dia bahkan mengatakan ada potensi genosida bagi warga suku Tobelo Dalam atau O' Hongana Manyawa akibat aktivitas tambang.

"Ada statement dari beberapa ahli tentang ini (genosida). Mereka bilang bahwa ada risiko besar bahwa genosida bisa terjadi terhadap masyarakat O' Hongana Manyawa," ujar Callum Rusel kepada detikcom, Selasa (28/5/2024).

Callum menyebut kegiatan pertambangan akan menyebabkan kehancuran populasi suku O' Hongana Manyawa yang sangat parah. Selain itu menurutnya, tidak akan ada keuntungan jika perusahaan enggan menghormati hak-hak masyarakat adat.

"Jadi memang wilayah dan tambang-tambang ini tidak akan menghasilkan keuntungan kalau mereka tidak menghormati HAM masyarakat adat," imbuh Callum.

Dia pun berharap seluruh perusahaan tambang di wilayah suku Tobelo Dalam dapat mengerti kondisi yang terjadi. Dia meminta perusahaan tambang untuk berhenti melakukan eksplorasi.

"Survival mendesak semua perusahaan kendaraan listrik seperti Ford, Volkswagen, dan BYD, untuk tidak mengambil bahan apapun (nikel) dari wilayah suku terisolasi (O' Hongana Manyawa)," ujar Callum.

Menurutnya, kegiatan yang dilakukan perusahaan-perusahaan tambang tersebut menyebabkan Suku Tobelo Dalam atau O' Hongana Manyawa kehilangan segala-segalanya.

"Tentu ini adalah sebuah pelanggaran terhadap hak hidup warga negara yang disebut indigenous people, yang tidak pernah ditindak sama sekali oleh negara. Bahkan terkesan negara melakukan pembiaran terhadap tindakan yang terjadi secara sistematis tersebut," katanya.

Populasi Suku Tobelo Dalam Menyusut

Populasi Suku Tobelo Dalam yang awalnya berkisar 3.000 orang, kini tersisa sekitar 300-500 orang. Menurut Rusel, hal ini terjadi setelah pemerintah bersama para tokoh agama meminta mereka keluar dari hutan untuk hidup berbaur bersama masyarakat.

"Mereka sudah dipaksa untuk keluar dari hutan, mereka dihubungi (diminta) oleh pemerintah dan para misionaris kristen dan pemuka agama muslim di tahun 1970 sampai 1990," ujar Rusel.

Saat Suku O' Hongana Manyawa keluar dari hutan dan menetap di wilayah permukiman penduduk, kata dia, banyak di antara mereka yang menderita sakit hingga meninggal dunia. Dia menyinggung imunitas mereka tidak kuat menghadapi wabah penyakit dari luar hutan.

"Banyak dari mereka sakit hingga mati, karena mereka tidak punya imunitas untuk (menghadapi) penyakit dari luar. Jadi mereka adalah seperti sebuah suku-suku yang terisolasi di dunia ini, seperti dari hutan Amazon di Negara Brazil hingga Kepulauan Andaman, mereka tidak punya imunitas dari penyakit luar," ujarnya.

"Kalau penyakit datang, mereka semua bisa mati dan kami tahu bahwa banyak masyarakat O' Hongana Manyawa yang sakit hingga mati karena penyakit," tambahnya.

Lebih lanjut dia menuturkan bahwa saat pihaknya bertandang ke wilayah perkampungan di Halmahera Timur dan menemui para tetua O' Hongana Manyawa, banyak dari komunitas mereka yang sudah meninggal karena terserang penyakit. Kondisi mereka sangat memprihatinkan dibanding ketika hidup di hutan.

"Banyak dari mereka sudah mati, jadi kondisi mereka sangat-sangat tidak baik. Masyarakat O' Hongana Manyawa yang sangat sehat, mereka semua hidup di hutan, mereka semua sehat dari penyakit," imbuhnya.




(hmw/ata)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads