Shalat Idul Fitri adalah shalat yang dikerjakan pada Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal setiap tahunnya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum shalat Idul Fitri ini?
Sebagai seorang muslim, sudah menjadi tradisi melaksanakan shalat Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal. Shalat ini dikerjakan setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh Ramadhan.
Untuk memahami terkait hukum shalat Idul Fitri, berikut ini penjelasannya menurut ulama 4 Mazhab, yakni mazhab Syafi'i, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukum Shalat Idul Fitri Menurut 4 Mazhab
Mengutip dari Jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin yang berjudul "Hukum Salat Id Menurut Perspektif Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali (Studi Komparatif)", adapun hukum pelaksanaan shalat Idul Fitri, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama menghukumnya sunnah, namun adapula yang menyebutnya wajib.
1. Hukum Shalat Id Menurut Mazhab Syafi'i
Hukum shalat Idul Fitri menurut mazhab Syafi'i adalah sunnah muakkad. Maksudnya shalat sunnah yang sangat dianjurkan bagi setiap muslim.
Pendapat ini sekaligus merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Adapun dalil yang digunakan oleh mazhab Syafi'i adalah hadits shahih Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ، يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ وَلَا يُفْقَهُ مَا يَقُولُ، حَتَّى دَنَا، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: لَا، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَصِيَامُ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ : لَا ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ. قَالَ : وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزَّكَاةَ، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ : لَا ، إِلَّا أَنْ تَطَوَّعَ قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ:
وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلَا أَنْقُصُ. قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْلَحَ إِنْ
صدق
Artinya: "Seorang penduduk Nejed datang menghadap Rasulullah saw. dengan rambut yang kusut. Kami mendengar nada suaranya tetapi tidak memahami kata-katanya. Setelah dekat kepada Rasulullah saw. ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah saw. bersabda: "salat lima waktu sehari semalam" lelaki itu bertanya: "Masih adakah salat lain yang diwajibkan epadaku?" Jawab Rasulullah saw. "Tidak, kecuali jika engkau ingin melakukan salat sunat. Kemudian berpuasa pada bulan Ramadhan. Lelaki itu bertanya lagi: "Adakah puasa lain yang diwajibkan kepadaku?" Beliau menjawab: "Tidak, kecuali jika engkau ingin berpuasa sunat." Beliau bersabda: Keluarkanlah zakat" Tanya lelaki itu: "Adakah zakat lain yang diwajibkan kepadaku?" Beliau menjawab: "Tidak, kecuali jika engkau ingin bersedekah" Kemudian lelaki itu pergi sambil berkata: "Demi Allah, Aku tidak akan menambah juga tidak akan mengurangi sedikitpun." Rasulullah saw. bersabda: "Ia amat beruntung, seandainya ia menepati apa yang telah diucapkannya.
Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, berkata, "Kaum muslimin telah sepakat bahwa shalat Id disyariatkan, dan bahwa hukum shalat id adalah sunnah bukan wajib. Imam Syafi'i dan kebanyakan murid-muridnya berpendapat bahwa shalat Id hukumnya sunnah".
Demikian pula, Imam al-Syairazi dalam kitab al-Muhazzab berkata,
صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ سُنَّةٌ
Artinya: "Shalat dua hari raya itu sunnah".
Lebih lanjut, Az-Syairazi menyebutkan bahwa shalat id tidak disyariatkan azan pada pelaksanaannya, maka dalam hal ini ia meng-qiyaskan bahwa shalat id termasuk shalat sunnah karena tidak ada azan, seperti shalat sunnah dhuha.
2. Hukum Shalat Idul Fitri Menurut Mazhab Hambali
Berbeda dengan mazhab Syafi'i, ulama mazhab hambali mengatakan bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah fardhu kifayah. Artinya, jika sudah ada sebagian umat Islam yang mengerjakan ibadah shalat Idul Fitri ini, maka terlepaslah kewajiban muslim yang lain.
Adapun dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnu Qudamah yaitu ayat Al-Quran surah Al-Kautsar: 2 sebagai berikut,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
Artinya: "Maka, laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!"
Ayat tersebut ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah shalat hari raya. Adapu kata "shalli" (dirikanlah shalat) adalah perintah yang menunjukkan arti wajib. Sebagaimana kaidah ushul fikih menjelaskan, "Asal pada perintah menunjukkan arti wajib, kecuali adanya qarinah-qarinah yang memalingkan arti wajib tersebut."
Selain bertumpu pada ayat Al-Quran di atas, mazhab Hambali juga berhujjah pada hadits shahih Bukhari dan Muslim, dari Thalhah bin Ubaidillah sebagaimana hadits yang juga digunakan oleh ulama mazhab Syafi'i di atas.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Kafi, "Shalat Id bukan fardhu 'ain karena Nabi SAW menerangkan shalat lima waktu kepada seorang badui, lalu ia bertanya, "Adakah kewajiban lain bagiku selain itu?" Nabi SAW menjawab, "Tidak, kecuali kamu melakukan secara tathawwu' (shalat sunnah)".
Dalam kitab al-Mughni, Qudamah berkata,
وَصَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ
Artinya: "Shalat Id hukumnya adalah fardhu kifayah".
Menurut Ibnu Qudamah hal ini karena dalam pelaksanaan shalat Id, tidak terdapat seruan azan. Sehingga tidak wajib ain. Sama halnya dengan shalat jenazah.
Ulama lain, Imam Taquyuddin Muhmmad dalam kitab Muntahaal-Iradat menyebutkan,
صَلَاةُ الْعِيدِ فَرْضٌ كِفَايَةٌ ، إِذَا اتَّفَقَ أَهْلُ بَلَد عَلَى تَركِهَا، قَاتَلَهُم الإِمَامُ
Artinya: "Shalat dua hari hukumnya fardhu kifayah, jika sepakat suatu penduduk meninggalkan shalat dua hari raya, maka imam memerangi mereka."
Dalam kitab al-Wadih fi Syarh Mukhtasar al-Khiraqi, Nuruddin Abu THalib Abdurrahman berkata,
عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ كِفَايَةٌ وَأَنَّهَا لَا تَحِبُّ عَلَى الْأَعْيَانِ : أَنَّهَا لَا يُشْرَعُ لَهَا الْأَذَانِ فَلَمْ تَحِبْ عَلَى
الأَعْيَانِ، كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ
Artinya: "Bahwa shalat hari raya hukumnya adalah fardhu kifayah, karena shalat hari raya tidak wajib bagi individu, tidak disyariatkannya azan pada salat hari raya, maka tidak wajib bagi individu, sebagaimana shalat jenazah."
Intinya, mazhab Hambali berpendapat bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah fardhu kifayah. Karena Nabi SAW dan para khalifah sesudah beliau selalu mengerjakannya.
Shalat ini juga merupakan sebagian dari syi'ar Islam. Karena itu, hari ini wajib dikerjakan. Namun kewajiban itu tidak berlaku bagi setiap individu. Apabila sudah ada umat Islam yang mengerjakannya, maka kewajiban muslim lain sudah terlepas.
3. Hukum Shalat Idul Fitri Menurut Madzhab Hanafi
Sementara itu, mengutip dari laman resmi Al-Manhaj, hukum shalat Idul Fitri menurut ulama mazhab Hanafi adalah fardhu ain. Atau Wajib bagi tiap-tiap individu.
Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia menjelaskan bahwa dasar kewajiban shalat Idul Fitri bagi setiap orang disandarkan pada Rasulullah SAW.
Dahulu, Rasulullah SAW dan para sahabat melaksanakan shalat Ied di padang pasir (tanah lapang). Nabi SAW tidak pernah memberikan keringanan kepada seorang pun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Hal ini menurut Ibnu Taimiyah, menunjukkan bahwa shalat Id tidak termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi SAW juga tidak pernah membiarkan shalat Ied tanpa khutbah, persis seperti shalat Jum'at.
Selain itu, ada riwayat dari Ali bin Abi Thalib RA, di mana ia menugaskan seseorang untuk mengimami shalat Ied di Masjid bagi golongan orang-orang yang lemah. Andaikata sholat Ied itu sunnah, maka tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang melaksanakan sholat sunnah, apalagi bagi mereka yang lemah.
Sebab jika memang sunnah, maka orang-orang lemah tidak perlu melakukannya.
Akan tetapi, Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di masjid. Hal ini menunjukkan bahwa shalat ini wajib di laksanakan, sehingga orang-orang lemah pun harus tetap mengerjakannya.
Dalil lain adalah bahwa Nabi SAW memerintahkan agar kaum wanita keluar ke tanah lapang untuk menyaksikan berkahnya hari Ied meskipun mereka sedang haid. Jika wanita haid saja diperintahkan untuk keluar, bagaimana dengan mereka yang suci.
Nabi SAW pun tidak memberi keringanan kepada mereka. Ketika ada di antara mereka tidak memiliiki jilbab, maka Nabi meminta untuk seseorang meminjamkannya jilbab.
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
"Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya". [Hadits shahih, muttafaq 'alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Imam Shana'ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam "Ar-Raudhah An-Nadiyah" menambahkan bahwa apabila (hari) 'Ied dan Jum'at bertemu, maka (hari) 'Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum'at. Padahal shalat Jum'at adalah wajib, sedangkan tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban, melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib.
4. Hukum Shalat Idul Fitri Menurut Mazhab Maliki
Adapun para ulama dari kalangan mazhab Maliki, mereka sependapat dengan pendapat mazhab Syafi'i dan mayoritas ulama lainnya. Yakni disebutkan bahwa hukum shalat Idul Fitri adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan).
Mengutip laman Muhammadiyah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan shalat Idul Fitri dan Idul Adha setelah disyariatkannya, tetapi juga tidak adanya sanksi hukum atas tidak mengerjakannya.
Oleh karena itu, dari sini disimpulkan bahwa shalat Idul Fitri hukumnya sunah muakad.
Nah, demikianlah penjelasan tentang hukum shalat Idul Fitri menurut 4 mazhab. Semoga bermanfaat ya, detikers!
(edr/urw)