Direkrut Eksekutif United Nations Children's Found (UNICEF) Catherine Russel menyoroti budaya khitanan atau sunat perempuan yang disebut female genital mutilation (FGM). Ia menyebut sunat anak perempuan tanpa kepentingan medis merugikan dan mengancam nyawa.
Melansir dari detikHealth, UNICEF menemukan lebih dari 230 juta perempuan di dunia pernah melakukan pemotongan alat kelamin. Praktik ini dianggap merupakan tindakan menghilangkan sebagian atau seluruh bagian luar alat kelamin perempuan.
"Pemotongan alat kelamin perempuan merugikan tubuh anak perempuan, meredupkan masa depan mereka, dan membahayakan nyawa mereka," kata Catherine Russell dalam rilis resmi UNICEF, Minggu (10/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Catherine merasa prihatin terhadap perempuan. Utamanya kepada anak di bawah lima tahun yang menjadi mayoritas dalam praktik tersebut.
"Kita perlu memperkuat upaya ini 27 kali lebih cepat untuk mengakhiri praktik berbahaya ini," kata badan tersebut.
Berdasarkan laporan yang dirilis UNICEF pada Jumat yang bertepatan hari Perempuan Internasional, menunjukkan kenaikan angka sebesar 30 juta atau 15% dari data temuan delapan tahun lalu.
Menurut analisis data UNICEF, praktik FGM masih belum dapat diakhiri pada tahun 2030, sesuai dengan persyaratan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 5, tujuan 5.3).
Adapun dalam laporan tersebut UNICEF mencatat peningkatan jumlah kasus di negara-negara yang masih melakukannya. Di antaranya Afrika dengan peringkat pertama kasus terbanyak FGM yaitu 144 juta kasus, kemudian disusul oleh Asia 80 juta kasus, dan Timur Tengah enam juta kasus.
Sehubungan dengan itu, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, UNICEF mendesak masyarakat dan pemimpin global untuk menguatkan upaya dalam mengakhiri diskriminasi, melacak prevalensi FGM dengan lebih baik, serta membuka layanan bagi anak perempuan.
(ata/sar)