Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) semakin marak di Indonesia, menimbulkan kerugian negara, puluhan korban jiwa, hingga dampak negatif lingkungan. Pada tahun ini, telah terjadi 80 korban jiwa akibat kegiatan PETI, termasuk insiden terbaru terjadi di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang menelan dua korban jiwa.
Diketahui, insiden tersebut terjadi di Desa Makarti Jaya, Kecamatan Taluditi. Dua pekerja tambang emas ilegal bernama Kasman Ntue (30) dan Nikson Hasan (29) tertimpa pohon saat menggali emas pada Kamis, (23/11) lalu.
Kepala Desa Kalimas Riston Hamim mengungkapkan kedua korban tidak menyadari ketika pohon di sekitar mereka tumbang saat sedang menggali material tanah di lokasi penambangan tanpa izin di Kecamatan Taluditi, yang berjarak sekitar 20 km dari Kecamatan Buntulia, Pohuwato.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bermula saat keduanya sedang sibuk menggali material tanah di lokasi tambang emas. Pada saat bersamaan ada pohon yang berada di dekat korban tiba-tiba tumbang, jatuh tertimpa mereka. Keduanya tidak sempat melarikan diri," ujar Riston dalam keterangan tertulis, Minggu (10/12/2023).
Masyarakat sekitar juga telah menolak keberadaan PETI di Pohuwato. Baru-baru ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Pohuwato menggelar aksi demonstrasi di kantor bupati, DPRD, dan Polres Pohuwato pada Rabu (5/12) sebagai respons terhadap maraknya aktivitas pertambangan ilegal yang telah merusak lingkungan di daerah tersebut.
Selain di Pohuwato, tragedi aktivitas PETI yang merenggut korban jiwa juga pernah terjadi di Banyumas, Jawa Tengah pada tahun ini. Pada Juli 2023, delapan penambang ilegal tewas di lubang galian tambang emas di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang. Kejadian ini menyebabkan Pemerintah Kabupaten menutup penambangan emas ilegal tersebut karena proses penambangan dikatakan sangat jauh dari kaidah keselamatan dan sangat berbahaya.
Tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan kerugian negara, mengutip laman resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kegiatan PETI juga telah membahayakan lingkungan dan kehidupan manusia. Salah satu contohnya adalah pencemaran di sejumlah kawasan sungai dan hutan di Kalimantan Tengah. Hal ini dialami oleh warga Desa Sungai Sekonyer, Kotawaringin Barat. Akibat kegiatan PETI, warga desa tersebut terpaksa menampung air hujan untuk konsumsi sehari-hari dalam 20 tahun terakhir.
Atas beberapa insiden yang terjadi akibat aktivitas PETI, Pengamat Energi dan Pertambangan Ahmad Redi menyatakan secara normatif, Pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggungjawaban pidana. Penegakan hukum pidana, baik penal maupun nonpenal dapat dilakukan dalam pencegahan dan penindakan PETI.
Redi mengungkapkan agar aktivitas PETI dapat diberantas, perlu adanya upaya hukum yang bersifat multisektor disertai koordinasi antarinstansi terkait. Selain itu, juga diperlukan penegakan hukum yang kuat serta supervisi antara kementerian dan lembaga agar pemberantasan praktik ilegal ini bisa berhasil.
"Perlu juga ada Satgas Penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi juga melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi," ujar Redi.
Yang tak kalah penting, lanjut Redi, perlunya komitmen yang tinggi dari stakeholders terkait untuk mengatasi masalah PETI.
"Pembentukan Satgas Penanggulangan PETI menjadi salah satu cara agar ada kerja terorganisir, lintas sektor, dan komprehensif dalam mengatasi persoalan PETI," tutur Redi.
Pada awal tahun ini, Presiden Joko Widodo pun menegaskan aktivitas PETI sangat merugikan, dan telah membentuk tim di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan penegakan hukum terhadap aktivitas tambang ilegal. Bahkan, Jokowi meminta agar TNI dan Polri untuk turun tangan menindak tegas PETI.
Hal ini mengingat, walaupun Pemerintah telah berupaya menutup kegiatan tambang ilegal, tak berselang lama kawasan tersebut beroperasi kembali. Salah satu contohnya seperti tambang emas ilegal di Gunung Botak, Kabupaten Buru, yang telah ditutup pada 2015, namun masih tetap beroperasi kembali.
Senada dengan Redi, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) mengungkapkan pemerintah perlu segera melakukan penertiban pada aktivitas tambang ilegal.
"Kegiatan PETI begitu meresahkan karena negara kehilangan Sumber Daya Alam (SDA), kehilangan pajak dan royalti. Pemerintah harus segera menertibkan aktivitas tambang ilegal," kata Djoko.
Djoko mengatakan pelaku PETI tidak melakukan upaya reklamasi dan kondisi tersebut berdampak merugikan bagi negara.
"Daerah bekas tambang tidak direklamasi dan alat-alat yang yang digunakan untuk melakukan aktivitas PETI harus diamankan. Pemerintah harus melakukan pembinaan agar masyarakat di sekitar wilayah tambang mendapatkan hidup yang layak," papar Djoko.
Sebagai informasi, Kementerian ESDM mengungkapkan terkait kerugian potensial negara akibat aktivitas PETI pada tahun 2022 mencapai Rp 3,5 triliun, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai Rp 1,6 triliun. Kementerian ESDM juga menekankan urgensi perlunya langkah tegas terhadap aktivitas PETI di wilayah yang memiliki izin usaha pertambangan yang legal.
(ega/ega)