Ombudsman Sulawesi Selatan (Sulsel) telah melakukan kajian terkait pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMA di Sulsel. Dari hasil pemeriksaan ada 11 temuan indikasi kecurangan yang terjadi dalam PPDB.
"Betul 11 temuan, ada 11 kesimpulan setelah mengkaji atau meneliti tentang fenomena PPDB ini," ucap Kepala Pencegahan Ombudsman RI Perwakilan Sulsel Muslimin B Putra kepada detikSulsel, Jumat (17/11/2023).
Muslimin mengatakan temuan itu terungkap usai dilakukan sampel pemeriksaan di tiga SMA favorit di Sulsel. Tiga sekolah yang dimaksud, yakni SMA Negeri 1 Makassar, SMA Negeri 1 Parepare, dan SMA Negeri 1 Palopo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"3 sampel lokasi kita teliti kita kaji di 3 kota yaitu Kota Makassar, Kota Parepare dan Kota Palopo. Adapun kita memilih sampel di kota karena karena fenomenanya lebih besar," ujar Muslimin.
Dia melanjutkan pihaknya mengambil keterangan dari 4 responden di tiap sekolah. Ombudsman Sulsel mengambil keterangan dari kepala sekolah hingga orang tua siswa.
"Ada 4 klaster kita jadikan sebagai responden klaster sekolah. Klaster itu mewakili pemerintah daerah yakni kepala sekolah, klaster cabang dinas dan ada juga klaster dari masyarakat itu terkait dengan komponen 2 ada namanya komite sekolah dan ada orang tua orang tua siswa," ujarnya.
Muslimin melanjutkan proses pemeriksaan dilakukan selama enam bulan terakhir. Sebanyak 11 kesimpulan hasil kajian PPDB SMA itu sudah diserahkan ke Dinas Pendidikan (Disdik) Sulsel pada Rabu (15/11).
"6 bulan (prosesnya), namanya systemic review kajian Pelaksanaan PPDB Tingkat SMA di Sulsel tahun 2023," pungkas Muslimin.
Dari hasil pemeriksaan, Ombudsman menemukan praktik diskriminatif dan tidak demokratis dalam PPDB hingga dinilai bertentangan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Indikasinya dengan menggunakan fasilitas mutasi penduduk calon peserta didik perpindahan Kartu Keluarga ke lokasi terdekat sekolah favorit sehingga mengambil hak calon peserta didik yang lebih berhak.
Kedua, penentuan jumlah rombongan belajar (rombel) dan kuota tambahan dilakukan secara terbuka namun pelaksanaannya masih ada yang tertutup. Indikasinya, adanya temuan siswa baru saat waktu dan proses belajar mengajar sudah berlangsung pasca PPDB.
"Ketiga, mutu pendidikan belum merata karena mutu tenaga kependidikan dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan belum merata mendorong masyarakat memberi label sekolah yang difavoritkan dan tidak difavoritkan," tuturnya.
Selain itu ada fenomena blank spot pada hampir semua wilayah kabupaten/kota yang menunjukkan belum meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan formal, khususnya pada tingkat SMA. Selanjutnya mutu pendidikan belum merata pada semua sekolah sebagai resultante dari perbedaan sarana dan prasarana sekolah yang juga belum merata.
Keenam, kuota jalur afirmasi masih tergolong memiliki proporsi yang rendah 15 persen dibanding kuota zonasi 50 persen. Selanjutnya, masih ada kendala tentang sistem informasi pendaftaran peserta didik baru masih ditemui dalam dua tahun terakhir menunjukkan sistem pendidikan di daerah belum berjalan secara efektif dan efisien.
"Sistem informasi yang digunakan masih menggunakan kerjasama dengan pihak ketiga yang rentan terhadap intervensi pihak-pihak tertentu karena masih menggunakan tenaga ad hoc dalam pengelolaan sistem informasi," tutur Muslimin.
Temuan kedelapan, lanjut Muslimin, masih terjadi penambahan rombel setelah penentuan rombel pada setiap satuan pendidikan dan/atau penambahan peserta didik pada saat setelah pengumuman PPDB. Hal ini belum selaras Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB.
Kesembilan, masih terjadi modus mutasi penduduk perubahan alamat Kartu Keluarga demi untuk mendekatkan alamat calon peserta didik dengan sekolah favorit yang akan dituju saat PPDB. Selain itu, penentuan titik koordinat tempat tinggal calon peserta didik berdasarkan titik yang ditunjuk orang tua/wali calon secara subjektif sehingga potensi manipulasi alamat tempat tinggal yang sesungguhnya dapat terjadi.
"Kesebelas, tradisi lokal mappasompe bagi sebagian masyarakat menyebabkan anak dengan usia sekolah tidak dapat melanjutkan sekolahnya agar tetap diakomodasi untuk melanjutkan sekolahnnya," pungkasnya.
(sar/hsr)