Penjabat (Pj) Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Bahtiar Baharuddin curhat sertifikasi aset milik Pemprov Sulsel baru 50%. Bahtiar menyebut persoalan ini dilatarbelakangi tata kelola aset yang rumit.
Hal itu diutarakan Bahtiar saat Rapat Koordinasi (Rakor) Pengelolaan Barang Milik Daerah bersama perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Kantor Gubernur Sulsel pada Rabu (15/11). Bahtiar mengaku miris atas kondisi aset Pemprov Sulsel.
"Baru 50% aset Sulsel yang baru tercatat, ya? Baru 50% yang punya sertifikat. Nah, bayangkan coba aset Sulsel baru 50% yang ada sertifikatnya," kata Bahtiar saat sambutan, Rabu (15/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bahtiar sertifikasi aset milik pemerintah daerah itu tidak dikenakan biaya sepeser pun. Hal ini sesuai dengan program yang ada di BPN.
"Padahal kan, Pak Kanwil (BPN) punya program, sepanjang itu adalah aset provinsi, daerah. Sepanjang dikoordinasikan dengan Kanwil, gratis," ujarnya.
Dia kemudian mengungkit penyebab kerumitan pemerintah daerah dalam mengelola asetnya. Utamanya adalah terkait personel, pembiayaan sarana dan prasarana, dan dokumen (P3D).
"Kenapa aset kita ini menjadi khususnya P3D ini bermasalah, tambah rumit administrasi aset. Jadi ini berubah seiring manajemen pemerintahan. Dulu sebelum 98 semua serba sentralisasi. Miliknya pusat, daerah itu tidak jelas apa yang dipunyai," jelasnya.
Oleh karena itu, aset-aset itu hanya ditilik dari sisi kebermanfaatannya saja sepanjang berguna bagi rakyat. Sehingga administrasi terhadap aset itu tidak begitu dipedulikan.
"Dan tidak terlalu diperhatikan juga yang penting sepanjang digunakan oleh siapa terserah. Mau statusnya milik pusat, provinsi, daerah, siapa yang pakai tidak dipedulikan. Yang penting bermanfaat untuk masyarakat. Administrasi aset ini tidak dipikirkan dengan baik," tuturnya.
Hal ini cukup diperparah dengan lahirnya masa reformasi tahun 1998. Bahtiar mengatakan, saat itu tren sentralistik berubah menjadi desentralisasi yang turut mempengaruhi kebijakan dalam mengelola aset.
"Datang reformasi, berubah kebijakan. UU 2 tahun 1999 tiba-tiba sejumlah aset pusat yang tersentralisasi, didaerahkan. Nah, dalam perjalanannya diserahkan orang, kadang gedungnya diserahkan tapi dokumennya tidak," sebutnya.
"Sehingga tidak berubah status kepemilikannya. Berubah lagi kebijakan yang tadinya daerah ditarik lagi ke pusat. Seperti transmigrasi sekarang," lanjut Bahtiar.
Di satu sisi, Bahtiar mengungkap ada banyak lembaga yang terlibat dalam pendataan aset tersebut. Apalagi setiap pihak memiliki otoritas yang sama.
"Untuk kelola aset ini, maka di hulunya mulai dari data sampai dengan pengawasan pengendaliannya, banyak sekali lembaga yang terlibat. Yang memiliki otoritas-otoritas yang terpisah-pisah. Maka menambah kerumitan kita dalam tata manajemen ini," bebernya.
Dia pun berharap agar pertemuan kali ini dapat menjadi pemantik untuk memperbaiki pendataan aset daerah. Termasuk merumuskan gagasan agar aset daerah bisa dioptimalkan dan diperbaiki.
"Oleh karenanya kita perlu konsolidasikan tahapan-tahapan administrasi. Nah pertemuan itu tujuannya di situ. Nanti kita rumuskan mungkin hal-hal yang besar. Kemudian kita tematik, fokus-fokuskan kita lihat pekerjaan yang mana yang harus kita selesaikan," pungkasnya.
(hsr/hsr)