Kontraktor buka suara soal proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang material kabelnya menjuntai hingga menghalangi akses jalan warga. Pihaknya mengatakan material proyek yang pernah dikerjakannya dan mengganggu warga itu sudah bukan kewenangannya.
"Kalau saya kontrakku sudah selesai, kami bekerja dari 2018 sampai 2020 awal. Kami hanya kerja di jaringannya, dan itu sudah selesai dan serah terima. Namun kami tidak ada untuk pemeliharaannya," ujar Owner PT Arta, Anto kepada detikSulsel, Kamis (12/10/2023).
Anto mengaku, pihaknya bekerja hanya sebagai sub kontraktor (subkon) saja atas proyek yang menjadi kewenangan PT Brantas Nipa Jaya Energi. Dia mengaku hanya mengerjakan pemancangan tiang dan penarikan jaringan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami bekerja hanya subkon ji bukan pemenang tender. Anggaran yang dipakai itu setelah dilaporkan baru kami dibayar, tidak diberikan dulu anggaran baru bekerja," sebutnya.
"Selama ini kami kerja penarikan jaringan udara tegangan menengah (JUTM) yang kami kerja sekira 40 kilometer sirkuit. Nilai kontrak kerja ke saya sekitar Rp 14 miliar selama 3 tahun," sambung Anto.
Saat ditanyakan soal apa saja yang dikerjakan dalam proyek PLTM itu, Anto mengaku mulai pembangunan bendungan dan pembangkitnya. Termasuk dengan pembebasan lahannya.
"Secara rinci saya tidak tau pasti. Yang pasti anggaran di sana kan Rp 270 miliar. Ada untuk pembebasan lahannya, belum lagi untuk bendungannya, karena sementara sekarang perbaikan bendungan. PLTMH ini bukan hanya jaringan, tapi ada juga bendungan dan pembangkitnya. Ada kantornya PT Brantas itu di Bonto Selama," bebernya.
Diketahui, proyek PLTM di Sinjai itu disebut warga sedang mangkrak. Anto menjelaskan kendalanya karena ada jaringan yang melewati hutan lindung, kemudian belum ada kesepakatan antara perusahaan dengan PLN.
"Kemarin kendala tidak lanjut karena ada jaringan yang melewati hutan lindung belum ada perizinannya. Kemudian untuk memasukkan setrum ke PLN belum ada MGU atau kontrak perjanjian jual beli tegangan. Intinya belum ada deal antara PT Brantas dengan PLN. PT Brantas ini hanya berani membangun," jelas Anto.
Untuk diketahui warga menyoroti pembangunan PLTM yang mandek selama 3 tahun. Material kabel dari proyek menjuntai menghalangi akses jalan hingga dianggap merusak tanaman warga.
"Pembangunan ini sudah sampai pada tahap pemasangan jaringan listrik saluran udara tegangan menengah (SUTM). Namun sejak tahun 2019 mangkrak sampai saat ini," ujar salah seorang warga Ashabul Kahfi saat dikonfirmasi, Rabu (11/10).
Warga juga sudah melaporkan masalah ini ke DPRD Sinjai. Pihak DPRD mengaku kesulitan menegur PT Brantas Nipa Jaya Energi yang mengerjakan proyek tersebut karena kantornya hanya berlokasi di Jakarta.
"Kita punya kewenangan menegur, hanya saja tidak ada kantor cabangnya di Makassar. Kantornya katanya di Jakarta, dan kami tidak tahu kontak yang bisa dihubungi, ini yang menjadi kendala," ujar Ketua Komisi III DPRD Sinjai Andi Jusman kepada detikSulsel, Rabu (11/10).
Jusman mengaku, pihaknya sudah berulang kali menerima aspirasi warga soal kabel yang menghalangi jalan. Dirinya juga sudah berulang kali menyampaikan dan berkonsultasi dengan PLN Wilayah Sulselrabar terkait hal tersebut.
"Saya sudah beberapa kali konsultasi dengan PLN wilayah. Cuman ini bukan menjadi kewenangan PLN karena statusnya masih milik PT Brantas dan belum diserahkan ke PLN,"sebutnya.
Berita ini mencuat dari laporan warga melalui program Lapor Daeng di kanal detikSulsel. Jika detikers memiliki masalah dalam pelayanan publik lainnya, silakan laporkan di Lapor Daeng dengan mengklik persyaratannya di sini.
(sar/asm)