Bakal calon presiden (bacapres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan menyampaikan sejumlah gagasannya dalam agenda Rakernas XVI Apeksi di Makassar. Dalam pemaparannya, Anies banyak membahas tentang ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di Indonesia.
Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) itu digelar di Upperhills Convention Hall, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Kamis (13/7/2023). Kegiatan itu turut dihadiri Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang merupakan rival Anies sebagai bacapres.
Dirangkum detikSulsel, berikut ini 5 poin soal ketimpangan yang dipaparkan Anies saat adu gagasan bacapres dalam agenda Rakernas XVI Apeksi 2023 Makassar:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Akses Listrik Belum Merata
Hal pertama yang disoroti Anies adalah akses listrik yang belum merata di wilayah Indonesia. Dalam pemaparannya, Anies menunjukkan sebuah peta yang memperlihatkan penampakan wilayah Indonesia dilihat dari udara saat malam hari.
Dalam gambar tersebut, tampak beberapa wilayah terang benderang yang mengindikasikan akses listrik cukup memadai. Sementara di beberapa wilayah lainnya, hanya tampak titik-titik kecil yang menandakan bahwa wilayah tersebut belum memiliki akses listrik yang cukup.
"Ini adalah potret kota-kota di Indonesia. Nah, ketika lihat kota-kota di Indonesia, inilah wajah ketimpangan yang ada," ujar Anies dalam sesi diskusi panel di Rakernas XVI Apeksi di Makassar, Kamis (13/7).
"Lampu ini menggambarkan kota di Indonesia. Ketika kita lihat kota-kota ini di Jawa paling terang itu di Jakarta, Surabaya. Begitu masuk Sumatera titik-titik kecil, Kalimantan titik-titik kecil," imbuhnya.
Anies menilai, hal ini perlu menjadi fokus utama ke depannya. Sebab, minimnya akses listrik di suatu wilayah akan secara otomatis mempengaruhi pergerakan ekonomi.
"Jadi visi yang kita ingin tawarkan ke depan, kita ingin di malam hari seluruh kota di Republik Indonesia terlihat menyala terang dari udara. Jadi jangan sampai kota-kota ini gelap, kalau gelap perekonomiannya rendah, kontribusinya rendah. Dan tentu saja PLN harus siapkan suplainya," kata Anies.
2. Ketimpangan Jumlah Penduduk di Kota dan Desa
Dalam pemaparan tersebut, Anies turut menyoroti ketimpangan antara jumlah penduduk yang berada di kota dan desa. Menurutnya, perlu dilakukan antisipasi agar ketimpangan jumlah penduduk ini lebih terkendali.
"Sejak 2009 lebih banyak penduduk tinggal di kota daripada di desa. Jadi kalau sampai dengan sekarang, 14 tahun kemudian, proporsi penduduk tinggal di kota lebih banyak daripada di desa," ungkap Anies.
Anies menyebut, fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi sebenarnya hal yang wajar. Kendati demikian, diperlukan langkah serius agar hal ini tidak memunculkan permasalah baru.
"Urbanisasi itu oke, baik-baik saja. Yang tidak baik itu Jakartanisasi. Ke Jakarta semua, that's not good. Tapi kalau urbanisasi, it's okay," kata Anies.
"Urbanisasi ini adalah inevitable, tidak bisa dihindari. Tetapi, masalah yang ada di sebuah kota, sesungguhnya adalah soal pilihan. Kita memilih membiarkan muncul masalah atau kita memilih untuk mengantisipasi masalah," imbuhnya.
Simak selanjutnya di halaman selanjutnya...
Kemudian, Anies menjelaskan pengaruh penambahan jumlah penduduk di perkotaan terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) kota. Saat ini, sebanyak 57% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan dan diperkirakan di tahun 2045 jumlahnya akan mencapai 70%.
"Harus antisipasi dari sekarang, sekarang 57 (persen). Bila kita biarkan, tanpa perencanaan yang serius secara kolektif, nanti kita mengulangi masalah yang dari Jakarta," ungkap Anies.
"Diperkirakan, tadi visinya Pak Ketua, 2045, tahun 2045 itu 70% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan," lanjutnya.
Menurutnya, peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia saat ini belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan PDB. Sebagai perbandingan, kontribusi dari penambahan 1% penduduk perkotaan di Indonesia terhadap PDB per kapita nasional adalah 1,4%. Sedangkan di negara-negara Asia lainnya, penambahan 1% penduduk bisa berkontribusi terhadap peningkatan PDB hingga 3%.
"Di perkotaan ini, kontribusi dari penambahan penduduk perkotaan itu setiap 1% penambahan, PDB per kapita nasional meningkatnya 1,4%. Sementara, di negara-negara Asia lainnya, tambah 1 % penduduk urban, itu meningkat PDB sampai 3 %. Artinya, kota-kota kita belum menjadi produktif secara ekonomi," beber Anies.
3. Kesenjangan Sosial yang Tinggi di Perkotaan
Kesenjangan sosial yang terjadi di perkotaan turut menjadi sorotan Anies. Faktanya kata Anies, saat ini sebanyak 30 juta penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan justru menempati pemukiman kumuh.
"Kita menyaksikan bahwa 30 juta penduduk di perkotaan itu tinggal di pemukiman yang tidak layak," ungkapnya.
Anies kemudian bercerita saat mendapatkan tugas menjadi calon gubernur. Saat itu, Anies berkeliling Jakarta dan mendapati fakta masih banyak penduduk di ibu kota yang mengalami kemiskinan ekstrem.
"Pada saat keliling itu, saya justru menemukan bahwa kemiskinan ekstrem itu adanya tidak di pelosok yang jauh sana. Tapi kemiskinan ekstrem itu justru adanya pusat pemerintahan, di pusat negara kita, di Jakarta," beber Anies.
"Yang ekstrem miskin di situ, yang ekstrem kaya juga di situ. Jadi, ketimpangan-ketimpangan di kota-kota kita, itu ketimpangan yang harus dibereskan agak awal," imbuhnya.
Menurut Anies, kesenjangan sosial di wilayah perkotaan ini diakibatkan oleh pertumbuhan yang tidak berkeadilan. Oleh karena itu, diperlukan strategi khusus untuk mengendalikan pergerakan penduduk di kota-kota besar.
"Nah, kami melihat permasalahannya ada pada pertumbuhan yang tidak berkeadilan. Saya menggunakan contoh Jakarta. Jakarta ini, kalau kita lihat, tata ruangnya itu berkembang tanpa dikendalikan dengan sebuah visi tentang pergerakan penduduk," ujarnya.
Selanjutnya, Anies juga soroti ketimpangan APBD Kota.
4. Ketimpangan APBD Kota
Permasalahan lainnya yang turut menjadi perhatian Anies adalah ketimpangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) antar kota-kota yang berada di Indonesia. Ketimpangan APBD ini, kata Anies menjadi hal yang perlu mendapat perhatian serius.
"Jakarta ini APBD nya Rp 77 triliun. Kota kedua, lebih besar, Surabaya Rp 9,5 (triliun), lalu Semarang Rp 2,4, triliun, lalu turun semuanya," ungkapnya.
Menurut Anies, pemerintah kota perlu memiliki kemampuan fiskal yang lebih tinggi. Dengan begitu, mereka dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan pembangunan serta mewujudkan wilayah perkotaan yang sehat.
Anies menyebut, saat ini kemampuan fiskal di sebagian besar kota-kota di Indonesia masih terbilang rendah. Tercatat, sekitar 60-70% kota di Indonesia masih belum mandiri.
"Ini menurut laporan dari Kementerian Keuangan, bahwa 60% atau 70% kota kita itu belum mandiri, 29% mandiri, dan hanya 2% yang mandiri. Mandiri itu artinya PAD mampu membiayai lebih dari sebagian besar belanja daerah," ungkap anies.
Oleh karena itu, kemandirian fiskal ini harus terus ditingkatkan. Anies pun berharap permasalahan ini dapat terselesaikan sehingga semakin banyak kota-kota di Indonesia yang mandiri.
"Ini harus kita selesaikan sama-sama. Tidak bisa terus-menerus kota berada dalam posisi tidak mandiri. Jadi kalau ditanya, ke depan seperti apa, kita ingin kota-kota di Indonesia menjadi kota yang mandiri," kata Anies.
5. Akses Pendidikan Berpusat di Jawa
Masalah ketimpangan akses pendidikan juga menjadi salah satu perhatian Anies. Hal ini dinilai penting karena kualitas pendidikan dan SDM akan sangat mempengaruhi pergerakan dan pertumbuhan suatu wilayah.
"Salah satu faktor yang membuat kawasan perkotaan itu bergerak lebih cepat adalah ketika kualitas pendidikan dan kualitas manusia di daerah itu makin hari makin baik," kata Anies.
Faktanya, saat ini ketimpangan pendidikan masih terjadi di sebagian besar wilayah d Indonesia. Hal ini dapat terlihat, salah satunya dari jumlah perguruan tinggi yang lebih banyak terpusat di wilayah Jawa.
"Kita melihat pemerataan perguruan tinggi kurang. Perguruan tinggi ini tersentralkan di Jawa. Apalagi di Jawa bagian barat. Di Jawa Barat itu ada 388 perguruan tinggi, di Jakarta saja 276, di Jawa Tengah 250, di Jawa Timur 341," ungkap Anies.
Perguruan tinggi yang tersentral di Pulau Jawa ini kemudian menyebabkan para pelajar harus merantau demi memperoleh akses pendidikan yang memadai. Dan yang menjadi permasalahan, sebagian besar pelajar yang telah memperoleh akses pendidikan tinggi ini akan sulit untuk kembali ke daerah asalnya.
"Ini menyedot talent dari seluruh Indonesia. Untuk dapat pendidikan tinggi tersedot, sekali mereka tersedot jauh dari kotanya, dari wilayah asalnya, potensi kembali itu jauh lebih rendah. Karena itu, kami melihat itu penting," kata Anies.