Seorang bayi yang baru berusia 2 tahun di Korea Utara (Korut) dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Hukuman tersebut berkaitan dengan kepemilikan Alkitab orang tuanya.
Dilansir dari detikTravel yang mengutip dari New York Post, mulanya pejabat setempat menemukan sebuah Alkitab milik orang tua balita itu di rumahnya. Meskipun baru berusia dua tahun, bocah yang tak tahu apa-apa itu kemudian ditangkap untuk dibui.
Hukum di Korea Utara memang mengatur dengan ketat persoalan Alkitab ini. Menurut hukum Kim Jong Un, warga yang kedapatan membawa salinan Alkitab ke Korea Utara akan menghadapi hukuman mati. Sementara, bagi anak-anak akan dihukum penjara seumur hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, bayi bersama seluruh keluarganya sudah dipindahkan ke kamp penjara. Di sana mereka akan menerima hukumannya.
Menurut catatan International Religious Freedom Report dari AS, sebanyak 70.000 warga Korut menganut agama kristen dan dipenjarakan.
"Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama (di Korut) juga terus ditolak, tanpa ada sistem kepercayaan alternatif yang ditoleransi oleh pihak berwenang," kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres Juli lalu.
Menurut catatan Guterres, situasi di Korea Utara tidak berubah sejak laporan hak asasi manusia tahun 2014, yang menemukan bahwa pihak berwenang hampir sepenuhnya menyangkal hak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama.
Berkaitan dengan ini, PBB menemukan bahwa pemerintah setempat sering melanggar hak asasi manusia. Pelanggaran terhadap hak asasi ini merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam laporan tahun 2022, ditemukan bahwa pemerintah Korut terus mengeksekusi, menyiksa, dan menangkap orang secara fisik karena kegiatan keagamaan.
LSM Korea Future merilis laporan pada Oktober 2021 yang merinci pelanggaran kebebasan beragama setelah mewawancarai 224 orang. Dari pada korban didapati 91 orang beragama kristen, 150 orang shamanisme dan satu orang cheondoisme, satu orang agama lainnya.
Para korban berusia antara 2-80 tahun. Sebanyak 70 persen korban yang berhasil didokumentasikan merupakan wanita dan anak.
Korban-korban ini ditangkap, ditahan, kerja paksa dan disiksa. Tak sedikit yang masuk pengadilan tapi ditolak, mereka bahkan menjadi sasaran kekerasan seksual dan eksekusi publik.
Seorang tahanan yang dibebaskan pada tahun 2020, mengaku bahwa pihak berwenang (pemerintah Korut) memperlakukan orang kristen dengan siksaan paling keras. Bahkan, mereka pernah dipaksa berdiri selama 40 hari berturut-turut yang membuat mereka kehilangan kemampuan untuk duduk.
"Umat kristiani dianggap sebagai anak tangga terendah dalam masyarakat Korut dan terus menerus rentan dan dalam bahaya," kata korban dalam wawancara bersama Radio Free Asia.
(urw/alk)