Kisah Kahar Muzakkar Pentolan DI/TII Mati Tertembak di Hari Raya Idul Fitri

Kisah Kahar Muzakkar Pentolan DI/TII Mati Tertembak di Hari Raya Idul Fitri

Nur Ainun - detikSulsel
Sabtu, 22 Apr 2023 16:00 WIB
Abdul Kahar Muzakkar.
Foto: Abdul Kahar Muzakkar. (dok. istimewa)
Makassar -

Pemberontakan Abdul Kahar Muzakkar lewat gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan (Sulsel) berakhir pada 3 Februari 1965. Kahar mati tertembak di persembunyiannya tepat pada Hari Raya Idul Fitri 1386 H.

DI/TII adalah gerakan yang menginginkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Pemberontakan ini dimulai di Jawa Barat, lalu menyebar ke berbagai daerah lain termasuk Sulsel yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.

Mengutip jurnal Universitas Hasanuddin berjudul "Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan Dalam kajian Sumber Sejarah Lisan 1950-1965", disebutkan bahwa pemberontakan ini terjadi karena Kahar Muzakkar merasa kecewa terhadap pemerintah RI, karena menolak Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) masuk ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penolakan itu kemudian dianggap sebagai siri napacce (harga diri) bagi orang Bugis-Makassar. Kahar dan KGSS merasa harga dirinya diinjak-injak oleh pemerintah karena perjuangannya dalam kemerdekaan Indonesia tidak dihargai.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, pemberontakan yang dipimpin Kahar Muzakkar terjadi dua periode dan masing-masing memiliki tipikal yang berbeda. Pada tahun 1950-1952 pemberontakan terjadi karena dasar kekecewaan yang dialami, kemudian di tahun 1953 hingga kematiannya, ia memilih berjuang di agama Allah, Islam.

ADVERTISEMENT

Kematian Kahar Muzakkar di Hari Raya Idul Fitri

Dilansir dari buku Sejarah Terbunuhnya Kahar Muzakkar di Hutan, disebutkan bahwa pada 1962 TNI membentuk Komando Operasi Penumpasan Pemberontakan DI/TII di wilayah Sulsel dan Sultra. Dalam Operasi Penumpasan ini, di dalamnya dibentuk Komando Operasi Kilat yang dikomandoi langsung oleh Panglima Kodam XIV Hasanuddin Kolonel Muhammad Jusuf.

Namun, penumpasan gerombolan DI/TII sangat sulit dilakukan pasukan Kodam XIV, karena sekitar tujuh puluh lima persen wilayah Sulsel dan Sultra dikuasai oleh Kahar Muzakkar dan pasukannya. Selain itu, dengan dengungan nuansa Islam DI/TII juga mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Oleh karena itu, TNI belum mampu menumpas pergerakan gerombolan DI/TII saat itu. Operasi Kilat kemudian dibagi menjadi dua yakni Operasi Tekad I dan Operasi Tekad II.

Pasukan yang tergabung dalam Operasi Tekad I diarahkan ke daerah sekitar kaki Gunung Latimojong. Sedangkan Operasi Tekad II difokuskan pada wilayah Sulawesi Tenggara. Kedua wilayah ini diyakini sebagai tempat bersembunyinya pasukan DI/TII dan Kahar Muzakkar.

Saat itu, operasi pencarian Kahar Muzakkar di sekitar Gunung Latimojong hanya ditemukan pasukan DI/TII saja. TNI kemudian menginterogasi pasukan DI/TII tetapi hanya sedikit yang mampu memberikan petunjuk keberadaan Kahar Muzakkar.

Disebutkan bahwa Kahar Muzakkar diperkirakan sudah lama meninggalkan kawasan Gunung Latimojong, menuju Sulawesi Tenggara. Diduga Kahar bersama pasukannya memilih wilayah Sultra sebagai medan operasi mereka selanjutnya, karena hutannya masih luas sehingga ia bisa lebih aman bergerilya.

Pada 6 Agustus 1964, dua pleton pasukan Komando TNI (RPKAD) ditugaskan ke Sultra, sekitar Danau Towuti. Kedua pleton ini bertugas untuk mencegat pasukan DI/TII demi memastikan keberadaan Kahar Muzakkar di wilayah itu.

Hasil pengepungan di sekitar Danau Towuti berhasil menangkap menteri, panglima, dan pasukan DI/TII, serta membebaskan ratusan rakyat. Sementara Kahar Muzakkar berhasil melarikan diri. Akan tetapi TNI tidak berkecil hati karena telah mendapatkan keterangan rakyat bahwa Kahar Muzakkar dan pasukannya tidak jauh dari Danau Towuti.

Sejak itu, Kahar Muzakkar bersama sisa pasukannya mengatur strategi gerilya, dengan terus bergerak dari satu tempat ketempat lainnya. Selanjutnya pada 21 Januari 1965 pasukan TNI menggeledah gubuk salah seorang ajudan Kahar Muzakkar yang telah memisahkan diri. Di gubuk itu ditemukan dokumen rahasia yang berisikan Kahar Muzakkar melakukan pergerakan secara mobile di tiga tempat yakni Wiau, Laeju, dan Lawawi.

Tak lama berselang, Menteri Kehakiman DI/TII bernama Djunaed Sulaeman dan keluarga serta beberapa pengikutnya menyerah. Para komandan pasukan DI/TII satu persatu diinterogasi mengenai keberadaan Kahar Muzakkar, namun mereka bungkam.

TNI tak berputus asa, mereka tersus membujuk hingga akhirnya pihak komando operasi TNI mendapatkan informasi yang sangat diperlukan, bahwa saat ini Kahar Muzakkar bersama pasukannya yang tersisa tengah menyusuri Sungai Lasolo menuju hilir di Laut Banda.

Dari informasi yang akurat itu, pada 2 Februari 1965, sehari sebelum tertembaknya Kahar Muzakkar, Peltu Umar bersama pasukan yang dipimpinnya yang masih berada di dalam hutan diperintahkan untuk terus bergerak menyusuri Sungai Lasolo.

Ketika mendekati muara sungai dari ketinggian, Peltu Umar bersama 19 pasukan dan beberapa rakyat melihat di kejauhan ada enam gubuk terbuat dari rotan dan sebuah rakit yang ditambatkan di tepi sungai. Tambatan rakit itu menjadi pertanda bahwa ada kehidupan di sekitar itu. Peltu Umar kemudian memberi perintah tidak boleh ada yang bergerak.

Saat itu menunjukkan pukul 15.00. La Passe sang penunjuk jalan melihat seorang lelaki keluar dari gubuk kedua. Seketika La pesse berbisik kepada Peltu Umar 'Itu Kahar Muzakkar'. Bisikan itu seketika membuat bulu roma tubuh Peltu Umar berdiri. Ia tidak menyangka bakal bertemu dengan orang yang selama ini dicari dan telah menjadi mitos di tengah masyarakat.

Dalam mitos, Kahar Muzakkar adalah sosok pemimpin yang memiliki kelebihan dalam hal mistik. Dia memiliki kemampuan bisa menghilang, berubah wujud menjadi binatang, hingga kebal terhadap peluru.

Namun, Peltu Umar tak ingin hanyut dengan kekhawatiran itu, ia harus tetap fokus dalam menjalankan tugas. Karena hari semakin gelap, Peltu Umar menyimpulkan kalau penyergapan tidak dapat dilakukan saat itu juga, melainkan menunggu esok pagi.

Perlahan-lahan matahari menyingsing. Hari itu 3 Februari 1965 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriyah. Para prajurit tetap membeku di tempatnya masing-masing dan menunggu waktu yang tepat untuk menyergap.

Pukul 05.30 pagi, Kahar Muzakkar terbangun dan keluar dari gubuknya, kemudian masuk lagi. Seorang pasukan DI/TII juga tampak keluar menuju arah rakit. Ia menyadari kalau pasukan TNI sedang berada di sekitarnya dan secara spontan langsung berbalik ke arah gubuk untuk melaporkan adanya pasukan TNI.

Pasukan TNI yang berada paling dekat dengan gubuk tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini dengan langsung menembakkan peluru dan disusul suara rentetan tembakan lainnya. Orang-orang yang berada di dalam gubuk tersebut langsung berhamburan keluar menyelamatkan diri.

Kahar Muzakkar yang mengenakan kaos oblong lengan panjang keluar dari gubuk sambil menenteng ransel berlari ke arah batu besar untuk berlindung. Akan tetapi, belum sempat sampai, Kopral Sadeli yang berada di dekat batu besar tersebut langsung menembakkan peluru dari senapan Thomson miliknya.

Sebelumnya Kopral Sadeli tidak menyadari jika orang yang ia tembak adalah Kahar Muzakkar. Dia baru sadar ketika ia teringat foto Kahar Muzakkar yang diperlihatkan kepada setiap prajurit TNI yang akan melakukan operasi militer.

Setelah kondisi tenang, mayat-mayat yang tertembak dikumpulkan. Di saat itulah Kopral Sadeli baru yakin bahwa orang yang ia tembak tadi adalah pemberontak yang selama ini dicari-cari, yakni Kahar Muzakkar.

Nah, itulah kisah kematian Kahar Muzakkar yang mati tertembak tepat di Hari Raya Idul Fitri 1386 H. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan sejarah para detikers!




(asm/asm)

Hide Ads