Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae, adalah salah satu pejuang wanita asal Sulawesi Selatan (Sulsel). Colliq Pujie dikenal sebagai seseorang yang sangat menentang Belanda.
Kisah tentang Colliq Pujie itu salah satunya ditulis dalam jurnal berjudul "Women Leadership In The Archipelago: Reality of Empowerment and Struggle of Learning Rights". Colliq Pujie disebut sangat menentang kebijakan-kebijakan Belanda yang dianggap merugikan banyak orang.
Ia merupakan putri dari Raja Tanete (sekarang Barru) ke-19, La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara. Tidak ada catatan pasti tentang informasi kelahiran maupun pendidikan Colliq Pujie, namun diperkirakan ia lahir pada tahun 1812 M.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diceritakan bahwa penentangan Colliq Pujie menjadi lebih besar setelah suaminya, La Tanampareq To Apatorang meninggal. Tekadnya menentang kebijakan Belanda menyebabkan dia dibuang atau diasingkan ke Makassar.
Colliq Pujie ditetapkan sebagai tahanan politik Belanda dan diasingkan ke Makassar pada bulan Maret 1857. Pengasingan ini ditetapkan tanpa SK resmi dari Gubermen Makassar kala itu.
Berdasarkan surat Bekkers, pengasingan ini disebabkan adanya konflik internal keluarga kerajaan Tanete. Di sisi lain, pengasingan ini juga diketahui merupakan alasan politis yang dirancang untuk menyingkirkan pengaruh politik dan akses dana yang dimiliki Colliq Pujie.
Disebutkan juga bahwa sebenarnya bukan alasan internal keluarga kerajaan Tanete ditakutkan Belanda. Namun, yang ditakutkan Belanda yakni semakin banyaknya perlawanan oleh rakyat yang terinspirasi dari Colliq Pujie yang bisa membahayakan kedudukan Belanda.
Hal ini kemudian membuat Belanda merasa perlu untuk memisahkannya dari lingkungan sosial dan politik Kerajaan Tanete.
Kondisi Ekonomi Colliq Pujie Menurun Selam Pengasingan
Selama menjalani masa pengasingan, Colliq Pujie mengalami masa sulit yakni ekonominya yang kian terbatas. Dia bahkan sampai menjual permata tabungannya demi menyambung hidup beserta menghidupi orang-orang yang ia tanggung.
Namun Colliq Pujie tak mati akal. Suata hari, ia menerima tawaran BF Matthes, seorang penginjil Belanda, untuk menyalin beberapa teks berbayar.
Dalam jurnal "Women Leadership In The Archipelago: Reality of Empowerment and Struggle of Learning Rights" disebutkan bahwa sebenarnya awal pertemuan Coliiq Pujie dengan Matthes adalah di Tanete pada tahun 1852 M, saat ia berusia 40 tahun. Kala itu ia berstatus janda dan tinggal di Pancana bergelar Arung Pancana Toa (Aroe Pantjana).
Hanya saja kerja sama penyalinan naskah baru terjalin saat Colliq Pujie diasingkan di Makassar. Matthes kemudian mendatangi Colliq Pujie untuk menawarkan pekerjaan menyalin dan mengadaptasi naskah La Galigo.
Matthes tahu bahwa Colliq Pujie adalah orang yang tepat untuk membantunya mewujudkan misi penyalinan naskah tersebut. Apalagi Colliq Pujie sangat menguasai sastra Bugis, sejarah, dan pandai memainkannya.
Kolaborasi ini pun berlanjut selama 20 tahun. Salinan naskah I La Galigo yang dibuatnya mencapai 12 jilid, dengan ketebalan kertas folio mencapai 2.851 halaman.
Teks tersebut merupakan tradisi lisan Bugis yang diucapkan dengan nyanyian (bahasa Bugis: sureq). Sekuel naskah tersebut tersebar di kalangan bangsawan, keluarga kerajaan dan tokoh adat di Sulawesi Selatan.
Sementara itu, Matthes gencar meminjam naskah aslinya kepada siapa pun yang memilikinya, lalu ia serahkan kepada Colliq Pujie untuk disalin, diadaptasi, dan diedit. Hingga pada akhirnya menjadi beberapa bagian yang tertata rapi.
Dalam naskah itu, Colliq Pujie juga menambahkan pengantar naskah yang sekaligus menjadi petunjuk pencarian sekuel yang masih bertebaran. Atas kerja sama inilah sehingga karya kebudayaan Bugis dapat terselamatkan dan bisa dibaca hingga sekarang.
(asm/asm)