Kahar Muzakkar adalah seorang pejuang kemerdekaan dari Tanah Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang kontroversial. Kahar Muzakkar berasal dari keluarga pedagang yang berkecukupan dan juga disegani sebagai keluarga pemberani di lingkungan masyarakat tempat kelahirannya.
Dikutip dari laman Universitas Sain dan Teknologi Komputer (STEKOM), Kahar Muzakkar bernama lengkap Abdul Qahhar Mudzakkar. Di masa kecilnya Kahar sering dipanggil dengan sebutan Ladomeng, karena ia sangat suka bermain domino alias gaple.
Kahar lahir di Kampung Lanipa, Distrik Ponrang (sekarang kecamatan), Luwu pada tanggal 24 Maret 1921. Ia merupakan anak dari keluarga pedagang yang cukup kaya dan terpandang. Ayah Kahar Muzakkar bernama Malinrang, sementara ibunya bernama Kaesang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kahar Muzakkar menyelesaikan pendidikannya di sekolah rakyat. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Solo dan masuk Sekolah Muallimin milik Muhammadiyah.
Namun, masa studinya hanya berjalan tiga tahun karena Kahar terpikat dengan perempuan asal Solo dan menikahinya. Selepas itu, ia kembali ke kampung halamannya di Lanipa. Keluarga besarnya gempar karena ia pulang membawa istri orang Jawa.
Dikisahkan, saat Jepang masuk ke Indonesia, Kahar sangat bahagia dan bersemangat. Ia berharap Jepang bisa membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Saking semangatnya, ia rela mengayuh sepeda dari Luwu ke Rappang hanya untuk bertemu dengan pemimpin pasukan Jepang.
Selama Jepang berkedudukan di Sulsel, ia bekerja sebagai pegawai Nippon Dohopo milik Jepang di Makassar. Akan tetapi, keluarga besarnya menuduh Kahar sebagai pemicu permusuhan di kalangan kaum bangsawan Luwu, sehingga ia dikenai hukum adat yakni ri-paoppangi tana yang berarti diusir dari tanah kelahirannya.
Dia pun kembali ke Solo untuk mendirikan perusahaan dagang yang diberi nama Usaha Semangat Muda. Seiring waktu berjalan ia meluaskan usahanya ke Jakarta dengan mendirikan Toko Luwu. Di toko ini beberapa kali Kahar mengadakan pertemuan politik.
Setelah Kemerdekaan, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis) lalu berubah menjadi Angkatan Muda Indonesia Sulawesi (APIS). Gerakan ini termasuk dalam bagian Angkatan Pemuda Indonesia (API). Pada 19 September 1945 Kahar bersama API ikut terlibat dalam rapat besar Ikada. Pada rapat tersebut Kahar hanya bersenjatakan sebilah golok membela Soekarno dan Hatta dari kepungan tentara Jepang.
Dalam perkembangannya, Apis meleburkan diri ke dalam Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS). Namun, Kahar tak bertahan lama di dalamnya karena sedari awal ia menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pergerakan tersebut.
Tetapi sebelum keluar, ia bersama KRIS sempat membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan. Sebagian besar tahanan itu adalah laskar yang berasal dari Bugis dan Makassar. Laskar ini kemudian diberi pelatihan militer di Yogyakarta dan masuk menjadi bagian Angkatan Perang RI.
Karier militer Kahar mulai cerah ketika ia ditugaskan menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi. Kesatuan tentara di luar Jawa disatukan dalam Brigade XVI. Tak lama ia mulai tersingkir oleh perwira-perwira yang mempunyai pendidikan formal kemiliteran. Dari sinilah awal mula munculnya permasalahan.
Sejak terganti, dia menjadi perwira tanpa jabatan. Saat itu, di tahun 1950, Kahar sempat ditugaskan ke Sulsel. Namun ia tidak pernah lagi kembali ke dalam lingkungan angkatan perang RI. Ia memutuskan menempuh jalannya sendiri karena merasa pengabdiannya tidak mendapatkan balasan sepadan.
Selain itu, kemarahannya makin memuncak ketika pemerintahan Soekarno menolak masyarakat Bugis-Makassar untuk bergabung dengan angkatan perang RI dalam suatu kesatuan mandiri bernama Hasanuddin. Pada 7 Agustus 1954, Kahar bersama pengikutnya secara resmi menjadi bagian dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Pada tahun 1950-1952, Kahar melakukan pemberontakan sebagai wujud kekecewaan yang ia alami. Namun, di tahun 1953 hingga kematiannya, Kahar melakukan pemberontakan karena dilandasi oleh semangat keagamaan Islam.
Di awal dekade tahun 1950-an, gerakan yang dipimpin Kahar Muzakkar di Sulsel sempat menyulitkan aparat keamanan RI. Tapi seiring berjalannya waktu kekuatan Kahar semakin melemah. Namun ia tetap bertahan di hutan belantara hingga akhir hayatnya.
Dalam buku Sejarah Tertembaknya Kahar Muzakkar di Hutan yang ditulis A. Wanua Tangke dan Anwar Nasyaruddin dijelaskan bahwa, pada tanggal 3 Februari 1965 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1386 H, Kahar Muzakkar tewas tertembak di tangan Kopral Sadeli di tepi Sungai Lasolo. Saat itu, tempat persembunyian Kahar bersama anggotanya di dalam hutan telah disergap pasukan Siliwangi.
Pamflet-pamflet kematiannya disebar menggunakan helikopter, membuat istri-istri dan keluarga Kahar Muzakkar yang berada di tengah hutan satu persatu menyerah. Diketahui, Kahar memiliki beberapa istri, di antaranya Sitti Hamie, Corry Van Stenus, Sitti Rawe, dan Sitti Hudayah.
Profil Kahar Muzakkar
Nama: Abdul Qahhar Mudzakkar
Dikenal: Kahar Muzakkar
Nama Kecil: Ladomeng
Tempat Lahir: Kampung Lanipa, Distrik Ponrang, Kabupaten Luwu
Lahir: 24 Maret 1921
Wafat: 3 Februari 1965
Nama Ibu: Kaesang
Nama Ayah: Malinrang
Istri: Sitti Rawe, Sitti Hamie, Sitti Hudayah, Corry Van Stenus
(asm/asm)