Bidan desa di Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar), Meli (30) mesti berjuang menerobos medan terjal untuk melayani warga desa yang terisolir akibat akses terputus longsor. Selain melintasi timbunan material longsor dan tebing curam, Meli juga harus menyeberangi sungai berarus deras.
"Suka duka dalam menjalankan tugas termasuk dalam bencana itu sangat banyak, tapi saat bertugas kita harus mengutamakan kemanusiaan, jadi apapun rintangannya harus kita hadapi," ungkap Meli kepada wartawan usai memberikan pelayanan kepada warga, Selasa (18/10/2022).
Meli sehari-hari bertugas sebagai bidan di Desa Riso, Kecamatan Tapango. Peristiwa banjir bandang yang melanda kawasan tersebut pada Sabtu (15/10) menjadi cobaan berat baginya. Meli yang menetap di desa tersebut tepatnya di Dusun Rakasang ikut terdampak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akses jalan usai diterjang banjir memaksa Meli harus berjalan kaki sejauh satu kilometer untuk menjangkau puskesmas pembantu (pustu) Desa Riso di yang berada di pusat desa.
Perjuangan lebih berat harus dijalani Meli, lantaran ada ratusan warga korban banjir bandang yang terisolir di Dusun Tondo Pata mengeluh terserang berbagai penyakit. Dusun tersebut hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer, melewati medan berat termasuk menerobos sungai berarus deras.
"Perjalanannya itu kita menyeberang sungai, kemudian banyak jalanan yang tidak bisa kita lewati, tapi puji Tuhan kita bisa lewati dengan baik dan bisa sampai di tempat terkena dampak bencana," jelasnya.
Setibanya di lokasi bencana yang masih terisolir, Meli langsung disambut puluhan warga yang sudah menanti kehadirannya. Puluhan dari anak-anak hingga lansia, mengeluh merasakan sakit perut hingga diare, pasca bencana banjir melanda daerah ini.
Meli menduga, gangguan kesehatan yang dialami warga akibat mengkonsumsi air tidak jernih. Peristiwa banjir membuat sumber air bersih warga setempat yang berasal dari pegunungan menjadi tercemar.
"Kalau diare, dari air minum yang mereka konsumsi dalam keadaan tidak jernih, atau tidak layak dikonsumsi, tercemar gegara banjir, makanya mereka banyak yang mengalami diare,"tuturnya.
Sementara banyaknya warga yang mengalami pusing, diduga karena kurang istirahat akibat trauma pasca banjir bandang yang menerjang kampung halamannya.
"Mungkin karena mereka kurang istirahat, makanya mereka banyak yang tekanan darahnya rendah, sehingga pusing, mungkin karena masih trauma akan bencana dihadapi, sehingga kalau malam banyak yang begadang karena merasa khawatir,"terangnya.
Bagi Meli, memberi pelayanan maksimal kepada warga merupakan bentuk tanggung jawab moril dan dedikasi sebagai petugas kemanusiaan, meski dirinya juga terdampak bencana alam.
"Bertugas saat bencana apalagi saya dan keluarga juga ikut terdampak, menjadi cobaan besar yang saya rasakan, tetapi karena ini tugas kemanusiaan jadi kita harus tolong menolong, apalagi di sini itu (warga) semua sudah seperti keluarga saya," jelasnya.
Meski kadang merasa lelah, Meli mengaku enggan berhenti dari profesi sebagai bidan. Semangat untuk saling tolong menolong menjadi pelecut semangat baginya, hingga terus bertahan sampai saat ini.
"Kita bertugas di sini untuk kemanusiaan, mudah-mudahan bisa bekerja maksimal dan menolong sesama, tanpa berpikir akan resiko melainkan tanggung jawab, untuk saling tolong menolong karena kemanusiaan," pungkasnya.
(tau/nvl)