Pria bernama Abd Rauf Dg Sikki (66) berjuang menyambung hidup dengan berjualan tikar dan bantal secara berkeliling di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar). Pria lanjut usia (lansia) itu hampir setiap hari mengayuh sepeda tua sejauh 40 kilometer demi mencari pembeli.
Rauf sedang beristirahat saat berada di salah satu rumah warga di Kelurahan Anreapi, Kecamatan Anreapi. Dia menyempatkan waktu bercengkerama dengan sang pemilik rumah yang diakui sebagai pelanggan.
"Sudah sering saya di sini. Dari dulu sudah jadi langganan saya," kata Rauf kepada wartawan, Sabtu (25/1/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rauf merupakan warga Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Wonomulyo. Pria kelahiran Gowa tahun 1959 itu menceritakan awal mula berjualan di daerah ini.
"Sudah sangat lama saya jualan. Waktu masih muda sudah mulai jualan," tuturnya.
Sebelum berjualan tikar dan bantal, dia sempat mencoba peruntungan dengan menjajakan barang pecah belah. Namun usaha yang dijalankan sekitar 5 tahun itu tidak berlangsung lama.
"Karena harga pecah belah kadang tidak stabil, jadi selalu merugi, saya akhirnya mencoba peruntungan lain dengan berjualan tikar dan bantal," ungkap Rauf.
Menurut Rauf, profesi sebagai penjual keliling awalnya dilakukan dengan berjalan kaki. Setelah mewarisi sepeda ontel milik orang tuanya, dia melanjutkan berjualan dengan bersepeda dari satu kampung ke kampung lainnya.
"Ini sepeda dari orang tua, diwariskan kepada saya. Sejak ada sepeda ini, saya tidak jalan kaki lagi kalau mau berjualan," ujarnya.
Aktivitas berjualan keliling kerap dilakukan dari pagi sampai malam hari. Bahkan dalam sehari, dia bisa melakukan perjalanan bersepeda pergi pulang rata-rata menempuh jarak sekira 40 km.
"Sampai puluhan kilo sehari, bisa sampai 40 kilo kalau pulang balik. Perkirakan saja, mulai dari Wonomulyo sampai ke Kunyi, Pappandangan. Biasa juga ke daerah pantai," ucap Rauf.
Pria yang memiliki 10 cucu itu menceritakan sejumlah tantangan yang dihadapi sejak menekuni profesi sebagai penjual keliling. Selain menjual di bawah terik matahari, perjalanannya harus terhenti ketika hujan.
Rauf juga mengaku kerap harus bersusah payah mengayuh sepeda saat melewati jalan menanjak. Begitupun saat melewati jalan curam, dia harus turun menuntun sepedanya dengan sangat berhati-hati.
"Sering bermalam, apalagi kalau sudah kemalaman atau biasa juga karena tidak bisa menyeberang karena sungai meluap, terpaksa harus bermalam. Kadang juga sepeda sama jualan saya titip di rumah orang," terang Rauf.
"Biasa tidak ada yang laku biar satu, kadang warga hanya tanya-tanya saja tapi tidak membeli, tapi itu sudah biasa. Saya tidak pernah kecewa, karena rezeki itu sudah diatur sama Tuhan," ucapnya.
Dalam sekali berjualan, Rauf bisa membawa 10 sampai 15 belas lembar tikar dan 5 buah bantal dengan harga bervariasi. Tidak semua barang tersebut dibeli warga secara tunai, sebagian besar terjual secara kredit apalagi saat musim paceklik.
"Kalau lagi panen itu biasa banyak pesanan, beda kalau paceklik, barang jualan kadang lebih banyak dicicil. Biasa kalau kita mau nagih susah, apalagi kalau lagi ada hajatan, kampung sepi, karena warga ramai-ramai ke tempat hajatan," tuturnya.
Dia mengaku, omzet yang diperoleh dari hasil berjualan tikar dan bantal bisa mencapai Rp 3 juta sebulan. Hasilnya dibagi, sebagian diberikan kepada sang istri yang tinggal di Makassar, sisanya dipakai untuk kebutuhan sendiri.
"Alhamdulillah untuk hasilnya. Sebagian saya kirim ke Makassar, karena istri dan anak tinggal di sana. Sisanya saya pakai sendiri. Sejak dari dulu memang istri dan 2 anak tinggal di Makassar, saya saja yang tinggal di sini ditemani salah satu anak yang sudah berkeluarga," paparnya.
Rauf mengaku belum ingin berhenti berjualan lantaran enggan merepotkan orang lain. Padahal, kata dia, keluarga sudah melarangnya.
"Istri sama anak-anak sudah selalu melarang, tapi memang saya yang masih mau bekerja, saya masih mau berusaha sendiri tanpa merepotkan orang lain. Semoga Tuhan selalu memberi kesehatan dan melindungi saya saat bekerja," jelasnya.
(sar/ata)