Perjanjian ektradisi adalah perjanjian yang dilakukan antara dua negara untuk mengembalikan seorang tersangka atau terpidana. Aturan mengenai perjanjian ekstradisi ini sepenuhnya diatur dalam UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Perjanjian ekstradisi pernah dilakukan Indonesia dengan berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Australia, Hong Kong, dan lainnya. Melalui perjanjian ini, pemerintah RI dapat memulangkan para buronan kembali ke Indonesia, begitupun sebaliknya.
Lantas apa ketentuan perjanjian ekstradisi ini? Berikut penjelasan lengkapnya yang dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber:
Perjanjian Ekstradisi Menurut UU
Merujuk UU No 1 tahun 1979, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
Secara singkat, perjanjian ekstradisi adalah perjanjian untuk membebaskan seorang tersangka yang ditahan di suatu negara agar dikembalikan ke negara asalnya. Selanjutnya akan diproses hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di negara asalnya.
Sebagai contoh, jika seorang WNI melakukan kejahatan di Singapura, maka secara hukum ia akan diproses berdasarkan hukum yang berlaku di Singapura. Namun dengan adanya perjanjian ekstradisi ini, pemerintah Indonesia bisa membebaskan warganya tersebut, dan membawanya pulang untuk selanjutnya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Begitu juga jika seorang buronan melarikan diri ke luar negeri, maka dengan adanya perjanjian ekstradisi, Indonesia bisa memulangkan kembali buronan tersebut ke Indonesia dan sebaliknya.
Dalam UU No. 1 Tahun 1979, ekstradisi harus dilakukan atas dasar perjanjian dan hubungan baik antar setiap negara. Serta jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.
Adapun mereka yang dapat diekstradisi adalah orang yang telah didakwa atas kejahatan, tetapi belum diadili. Ataupun orang yang telah diadili namun melarikan diri dari penahanan.
Sementara jenis kejahatan yang pelakunya bisa diekstradisi antara lain pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, penipuan, pencurian, penyelundupan, tindak pidana korupsi, narkotika dan lain sebagainya. Sementara ekstradisi tidak dapat dilakukan terdapat kejahatan politik.
Sejarah Perjanjian Ekstradisi
Melansir dari thehystoryvault.co.uk, konsep ekstradisi sudah ada sejak peradaban Mesir Kuno dan Cina. Setelah invasi Bangsa Het yang gagal ke Mesir, dibuatlah perjanjian damai antara Raja Ramses II dengan Raja Het, Hattusili II. Di dalamnya terdapat perjanjian ekstradisi.
Pada tahun 1174 M, seorang raja Inggris secara resmi membuat ketentuan untuk ekstradisi antara Henry II dan William dari Skotlandia. Salah satu kasus ekstradisi paling awal adalah ketika seorang pemberontak dari Irlandia, Brian O'Rourke melarikan diri ke Skotlandia. Pada saat itu Ratu Elizabeth, menuntut agar O'Rourke dipindahkan dari Scotlandia ke Inggris.
Di Indonesia sendiri, perjanjian ekstradisi sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu pemerintah Belanda melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara dunia.
Perjanjian tersebut bukan hanya berlaku antara Belanda dengan negara-negara lainnya. Melainkan juga termasuk wilayah yang masuk ke dalam koloni Belanda, termasuk Indonesia.
Selanjutnya ketentuan perjanjian ekstradisi...
Simak Video "Video Trump Peringatkan Hamas Jika Langgar Perjanjian: Kami Akan Bertindak"
(alk/urw)