Perjanjian Ekstradisi Adalah Apa? Ini Penjelasan Lengkapnya

Perjanjian Ekstradisi Adalah Apa? Ini Penjelasan Lengkapnya

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Jumat, 30 Sep 2022 01:30 WIB
Tolak Jabat Tangan dengan Perempuan, Pria Lebanon Gagal Dapat Paspor Jerman
Ilustrasi. (Foto: DW (News))
Makassar -

Perjanjian ektradisi adalah perjanjian yang dilakukan antara dua negara untuk mengembalikan seorang tersangka atau terpidana. Aturan mengenai perjanjian ekstradisi ini sepenuhnya diatur dalam UU No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Perjanjian ekstradisi pernah dilakukan Indonesia dengan berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Australia, Hong Kong, dan lainnya. Melalui perjanjian ini, pemerintah RI dapat memulangkan para buronan kembali ke Indonesia, begitupun sebaliknya.

Lantas apa ketentuan perjanjian ekstradisi ini? Berikut penjelasan lengkapnya yang dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjanjian Ekstradisi Menurut UU

Merujuk UU No 1 tahun 1979, ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

Secara singkat, perjanjian ekstradisi adalah perjanjian untuk membebaskan seorang tersangka yang ditahan di suatu negara agar dikembalikan ke negara asalnya. Selanjutnya akan diproses hukum sesuai dengan hukum yang berlaku di negara asalnya.

ADVERTISEMENT

Sebagai contoh, jika seorang WNI melakukan kejahatan di Singapura, maka secara hukum ia akan diproses berdasarkan hukum yang berlaku di Singapura. Namun dengan adanya perjanjian ekstradisi ini, pemerintah Indonesia bisa membebaskan warganya tersebut, dan membawanya pulang untuk selanjutnya diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Begitu juga jika seorang buronan melarikan diri ke luar negeri, maka dengan adanya perjanjian ekstradisi, Indonesia bisa memulangkan kembali buronan tersebut ke Indonesia dan sebaliknya.

Dalam UU No. 1 Tahun 1979, ekstradisi harus dilakukan atas dasar perjanjian dan hubungan baik antar setiap negara. Serta jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya.

Adapun mereka yang dapat diekstradisi adalah orang yang telah didakwa atas kejahatan, tetapi belum diadili. Ataupun orang yang telah diadili namun melarikan diri dari penahanan.

Sementara jenis kejahatan yang pelakunya bisa diekstradisi antara lain pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, penipuan, pencurian, penyelundupan, tindak pidana korupsi, narkotika dan lain sebagainya. Sementara ekstradisi tidak dapat dilakukan terdapat kejahatan politik.

Sejarah Perjanjian Ekstradisi

Melansir dari thehystoryvault.co.uk, konsep ekstradisi sudah ada sejak peradaban Mesir Kuno dan Cina. Setelah invasi Bangsa Het yang gagal ke Mesir, dibuatlah perjanjian damai antara Raja Ramses II dengan Raja Het, Hattusili II. Di dalamnya terdapat perjanjian ekstradisi.

Pada tahun 1174 M, seorang raja Inggris secara resmi membuat ketentuan untuk ekstradisi antara Henry II dan William dari Skotlandia. Salah satu kasus ekstradisi paling awal adalah ketika seorang pemberontak dari Irlandia, Brian O'Rourke melarikan diri ke Skotlandia. Pada saat itu Ratu Elizabeth, menuntut agar O'Rourke dipindahkan dari Scotlandia ke Inggris.

Di Indonesia sendiri, perjanjian ekstradisi sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu pemerintah Belanda melakukan perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara dunia.

Perjanjian tersebut bukan hanya berlaku antara Belanda dengan negara-negara lainnya. Melainkan juga termasuk wilayah yang masuk ke dalam koloni Belanda, termasuk Indonesia.

Selanjutnya ketentuan perjanjian ekstradisi...

Ketentuan Perjanjian Ekstradisi

Dikutip dari Jurnal Universitas Stikubank yang berjudul, "Legalitas Perjanjian Ekstradisi yang Dilakukan Indonesia Terhadap Negara-Negara yang Melakukan Kerja Sama" disebutkan bahwa dalam melakukan suatu perjanjian ekstradisi haruslah memperhatikan beberapa asas/prinsip yang nantinya dapat terlaksana dengan baik. Hal ini diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, yakni antara lain:

1. Pasal 2 UU No 1 Tahun 1979

Menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan, apabila antara Indonesia dengan negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik perjanjian ekstradisi sebelumnya maupun sesudah diundangkannya Undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas dasar suatu perjanjian, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk melakukan ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang lebih dikenal dengan prinsip atas asas timbal balik atau prinsip resiprositas.

2. Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1979

Menjelaskan bahwa Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari Undang-undang ini. Jenis-jenis kejahatan yang dimaksud adalah Pembunuhan berencana dan makar untuk melakukan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan termasuk penculikan anak, perampokan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum, kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap wanita dan gadis, pencurian dengan pengrusakan dan dengan kekerasan, pemalsuan, penggelapan dan penipuan dan segala tindak pidana yang berkaitan dengan itu, penyuapan dan korupsi, penyelundupan dan penggelapan, pembajakan di laut, kejahatan narkotika dan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan dengan obat-obatan yang berbahaya dan lain-lain.

3. Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1979

Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Tidak diserahkannya seseorang pelaku kejahatan politik adalah berhubung dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian politik. Karena pengertian kejahatan politik itu adalah terlalu luas, maka diadakan pembatasan seperti yang dimaksudkan dalam ayat (2) yaitu Kejahatan yang ada pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik.

4. Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1979

Permintaan ekstradisi terhadap warga negara Republik Indonesia ditolak. Yang artinya adalah demi kepentingan perlindungan warga negara sendiri maka dianggap lebih baik apabila yang bersangkutan diadili di negaranya sendiri. Walaupun demikian ada kemungkinan bahwa orang tersebut akan lebih baik diadili di negara lain (di negara peminta) mengingat pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan negara, hukum dan keadilan. Pelaksanaan penyerahan tersebut didasarkan pada azas timbal balik (resiprositas).

5. Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1979

Permintaan ekstradisi dapat ditolak jika kejahatan yang dituduhkan di atas dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan. Dari bunyi pasal tersebut menyatakan suatu pelaku tindak pidana akan lebih baik diadili di tempat kejadian kejahatan. Hal ini juga mengarah pada asas teritorial di mana yang menjadi persoalan mengenai "tempat terjadinya delik".

6. Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1979

Permintaan ekstradisi dapat ditolak jika orang yang diminta sedang diproses di Negara Republik Indonesia untuk kejahatan yang sama.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video BMKG: 2024 Jadi Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah"
[Gambas:Video 20detik]
(alk/urw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads