Kisah pilu dialami perempuan paruh baya bernama Rawaia (48) bersama anaknya Luppeng (20) di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar). Rawaia merawat anaknya yang lumpuh dan mengidap keterbelakangan mental dengan mengandalkan gerobak semen, lantaran tak mampu membeli kursi roda.
Sehari-hari, Rawaia dan Luppeng hanya tinggal berdua. Mereka menempati rumah berbahan semi permanen di Desa Taramanu Tua, Kecamatan Tutar. Rawaia masih punya dua anak lagi namun sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain.
Sepeninggal sang suami 10 tahun lalu, Rawaia harus berjuang sendiri mengurus Luppeng. Akibat penyakit yang dialaminya, Luppeng tidak dapat melakukan aktivitas tanpa bantuan orang lain.
"Pokoknya semua harus diurusi, mulai dari makan, mandi, hingga buang kotoran," kata Rawaia kepada wartawan, Kamis (11/8/2022).
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Rawaia mengandalkan hasil sepetak kebun peninggalan sang suami. Meski begitu, terkadang Rawaia harus berutang lantaran kebun yang menjadi tumpuan hidupnya kerap tidak memberi hasil sesuai yang diharapkan.
"Kadang pinjam, hasil kebun jadi jaminan, tetangga juga kadang membantu," ungkapnya lirih.
Saat Rawaia ke kebun, Luppeng ditinggal sendiri di rumah dalam pengawasan tetangga. Meski begitu, tidak jarang Luppeng pergi jauh meninggalkan rumah dengan cara menyeret kedua kakinya. Kondisi tersebut terkadang membuat Luppeng kesulitan kembali pulang karena kelelahan.
Untuk membawa Luppeng kembali pulang, Rawaia hanya mengandalkan gerobak semen milik tetangga. Luppeng didudukkan di atas gerobak tersebut kemudian didorong. Terkadang Rawaia kesulitan mendorong gerobak semen saat melewati jalan terjal, hingga membuat Luppeng terjatuh. Kalau sudah begitu, Rawaia harus meminta tetangga untuk membantunya membawa Luppeng pulang ke rumah menggunakan gerobak semen itu.
"Mau bagaimana lagi pak, karena adanya cuman ini (gerobak semen), saya tidak mampu membeli kursi roda," tutur Rawaia.
Menurut Rawaia, kondisi yang membuat Luppeng hidup seperti sekarang ini bermula saat usianya memasuki satu tahun. Bungsu dari tiga bersaudara ini tiba-tiba demam tinggi disertai kejang saat itu.
"Saat itu (Luppeng) hanya diperiksakan ke Puskesmas, tidak dibawa ke rumah sakit, karena akses jalan masih sangat susah," terangnya.
"Waktu itu dokter di Puskesmas juga tidak menjelaskan, soal penyakit yang diderita Luppeng," sambung Rawaia.
Diakui Rawaia, perjuangan untuk menyembuhkan Luppeng tidak hanya dilakukan dengan bantuan medis. Sejumlah dukun juga telah didatangi namun tidak membuahkan hasil.
"Berkali-kali dibawa ke Puskesmas, pakai dukun juga tapi tidak ada hasil," ucapnya lirih.
Meski tidak pernah berkecil hati akan kondisi yang dialami anaknya, Rawaia mengaku kerap menangis ketika membayangkan Luppeng saat dirinya telah tiada.
"Biasa nangis, apalagi waktu ingat kehidupan, bagaimana Luppeng kalau saya sudah tidak ada, siapa yang akan mengurus dan merawatnya," tandas Rawaia dengan mata berkaca-kaca.
Salah satu tetangga bernama Rahman berharap pemerintah memberi perhatian untuk meringankan kesulitan hidup yang dijalani Rawaia bersama Luppeng. Selain bahan pokok, Rahman mengaku bantuan yang sangat penting bagi Luppeng adalah kursi roda.
"Kalau saya lihat sekarang, karena sudah besar (Luppeng), sangat butuh kursi roda," pungkasnya.
Simak Video "Banjir Terjang 5 Kecamatan di Polman, Seorang Santri Hilang"
[Gambas:Video 20detik]
(asm/sar)