Populasi burung Maleo Senkawor atau Macrocephalon Maleo di Sulawesi Barat (Sulbar) terancam punah. Aktivitas pariwisata dan pembukaan lahan sawit dituding menjadi salah satu penyebab berkurangnya populasi satwa endemik Sulawesi tersebut.
"Banyak faktor, salah satunya di Mamuju habitatnya berubah jadi ruang wisata, sementara di Mamuju Tengah karena berubah jadi lahan sawit," ujar tim jaga Maleo, Nur Mubarak kepada detikcom, Sabtu (7/8/22).
Mubarak mengaku, kini ia dan beberapa rekannya telah melakukan edukasi ke warga soal ancaman kepunahan burung tersebut. Mereka juga ikut melakukan sosialisasi dan edukasi ke warga untuk menjaga habitatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Faktor lain juga karena masih ada warga mengonsumsi telur Maleo. Bahkan masih dijadikan campuran olahan kue, jadi biasa kalau kita tahu ada warga yang dapat kita beli itu telur," terangnya.
Timnya saat ini telah mendirikan penangkaran untuk telur maleo di Desa Tapandullu, Kecamatan Simboro, Mamuju sebagai salah satu upaya menjaga kelestarian Maleo.
Terpisah, salah satu penggagas tim jaga Maleo, Yusuf Wahil menjelaskan awalnya dirinya hanya memotret untuk dokumentasi burung tersebut yang kemudian berubah jadi gerakan menjaga maleo.
"Awalnya motret saja, setelah mengetahui populasi Maleo terancam, saya ajak mi pemuda setempat ikut terlibat menjaga kelestarian Maleo, meski saat ini baru di Mamuju," kata Yusuf.
Menurutnya ancaman kepunahan burung Maleo di Sulbar juga berdasarkan cerita warga di beberapa tempat. Di mana dulunya ditempati mengambil telur Maleo kini tak ada lagi, apalagi dari habitatnya yang kini berubah jadi lahan sawit dan area wisata.
"Laporan warga dulu di Desa Kabuloang, Mamuju itu juga menjadi habitat maleo, tapi sekarang tidak terlihat lagi. Bahkan saya pernah 12 hari mengamati di Mamuju Tengah namun hanya dua pasang terlihat," bebernya.
Terkait jumlah pasti populasi Maleo di Sulbar, dirinya mengatakan belum ada penelitian dari lembaga atau organisasi manapun untuk memastikan jumlah maleo dari tahun ke tahun di Sulbar. Namun ia mengatakan status global burung maleo terancam punah sudah cukup memberikan gambaran terkait harus adanya upaya pelestarian.
Mirisnya saat ini burung Maleo hanya dijadikan maskot untuk gelaran event atau nama brand usaha. Namun tidak ada upaya pemerintah untuk melestarikan satwa yang statusnya terancam punah itu.
"Kan Maleo ini status punahnya di atas penyu, jadi lebih parah lagi, cuman biasa hanya dijadikan maskot event dan nama brand usaha saja," tegas Yusuf.
"Bahkan untuk di Mamuju tengah, dari laporan warga tersisa 2 pasang burung maleo yang biasa terlihat, bahkan ada satu lagi terlihat namun tak memiliki pasangan," sambungnya
Dirinya berharap seluruh pemangku kebijakan agar terlibat untuk menjaga kelestarian burung maleo. Sehingga ke depan Maleo tak sekadar hanya nama.
"Susahnya misalkan warga yang yang punya lahan tempat habitatnya maleo, kemudian disulap jadi kawasan wisata. Termasuk lahan sawit, Kita tidak bisa larang karena itu hak mereka, makanya kita minta juga dinas pariwisata untuk ambil bagian, termasuk dinas lainnya," papar Yusuf.
Dikonfirmasi terpisah, Biodiversity Officer Burung Indonesia Achmad Ridha Junaid menuturkan, dari data yang telah dihimpun pada 2022, terdapat 177 spesies burung masuk ke dalam kategori terancam punah. Maleo jadi salah satu di antaranya yang semakin terancam kepunahan, bahkan kini statusnya Kritis.
"Untuk Maleo sendiri saat ini statusnya kritis," katanya.
Sementara dikutip data dari laman www.iucnredlist.org, pada 2021 secara global menempatkan burung maleo sebagai spesies terancam dengan 8.000-14.000 individu dewasa. Hal tersebut menjadi tren populasi menurun dari burung Maleo.
Laman juga menampilkan data di tahun 2016, dengan lingkup penilaian global mencantumkan populasi Maleo masih di kisaran 8000-14.000 individu dewasa. Dengan catatan spesies ini diduga menurun sangat cepat karena kombinasi ancaman, yang paling serius adalah pengambilan telur yang tidak berkelanjutan serta hilangnya dan terfragmentasinya habitat hutannya.
(sar/hmw)