Kesaksian Jendral Lapangan Saat Aksi Berujung Amarah: UMI Dikepung Tank

Kesaksian Jendral Lapangan Saat Aksi Berujung Amarah: UMI Dikepung Tank

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Minggu, 24 Apr 2022 11:53 WIB
Area kampus UMI Makassar
Foto: Area kampus UMI Makassar. (Hermawan/detikSulsel)
Makassar -

Tragedi April Makassar Berdarah (Amarah) 1996 yang diperingati hari ini 24 April atau 26 tahun lalu masih melekat dalam ingatan jenderal lapangan (jendlap) aksi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Faidar. Kala itu mahasiswa dikepung aparat kemudian merusak fasilitas kampus, hingga sejumlah korban berjatuhan.

Faidar memulai cerita saat Laode Ota yang merupakan konseptor aksi mahasiswa UMI tiba-tiba membahas terkait kebijakan kenaikan tarif angkutan umum saat itu. Kebijakan pemerintah dianggap sudah tidak pro rakyat.

Saat itulah mereka memutuskan untuk mengadakan rapat. Faidar kemudian ditunjuk sebagai jendlap aksi. Faidar juga diutus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai koordinator lapangan (koorlap) aksi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah membahas permasalahan secara internal, persiapan aksi pun dimulai. Sebelum turun ke jalan, Faidar dan seluruh elemen yang terlibat melakukan terlebih dahulu menggelar pra aksi selama beberapa hari.

Dalam pra aksi tersebut, Faidar dan sejumlah mahasiswa mengumumkan isu apa yang akan diangkat dalam aksi kepada masyarakat. Mereka ingin semua mahasiswa yang ikut terlibat sudah memahami kebijakan pemerintah yang dipersoalkan.

ADVERTISEMENT

"Tuntutan kita dibagikan dulu ke masyarakat, ke pengguna jalan. Lalu, juga disampaikan bahwa kita akan menguasai jalan-jalan tertentu jadi tolong cari alternatif yang lain. Itu bagian dari penyampaian kita," tutur Faidar.

Setelah pra aksi dijalankan, Faidar dan massa aksi pun turun ke DPRD Sulsel. Sayangnya, di sana mereka tidak mendapatkan tanggapan. Berikutnya, massa aksi berpindah ke Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Namun hasilnya masih nihil.

Aksi tersebut akhirnya berlangsung hingga berhari-hari demi mendapatkan jawaban dari pemerintah. Massa aksi kala itu mencoba mencegat mobil pengangkut sampah di depan kampus UMI dan berlanjut dengan mencegat DAMRI yang digunakan untuk menutup jalan.

"Kalau tidak salah ingat, itu sudah lima hari orang turun baru terjadi hadap-hadapan di depan kampus UMI. Dulu itu UMI tidak ada pagar, hanya diantarai dengan drainase. Jadi Tentara itu di depannya kampus di sebelah jalan. Kita di dalamnya," kata Faidar.

Faidar mengatakan pada siang hari kala itu kondisi masih kondusif. Namun memasuki sore hari mulailah terjadi keributan.

"Tidak tahu dimulai dari mana yang jelas sore itu ribut, terjadilah penyerangan masuk kampus akhirnya dibabat semua. Semua motor terparkir mulai yang ada di depan UMI yang luas itu, itu di rusak oleh tentara," kenang Firda.

Aksi mahasiswa kemudian dilanjutkan keesokan harinya. Massa aksi kembali berhadap-hadapan dengan tentara di depan kampus UMI. Suasana mulai tidak terkendali. Faidar pun tidak lepas dari sasaran hantaman tentara saat itu.

Bahkan Wakil Rektor 3 UMI pada masa itu, H Zein Irwanto yang mendampingi mahasiswa juga turut jadi sasaran. Saat keadaan mulai tidak terkendali Faidar bersama rekan-rekannya berusaha menyelamatkan H Zein Irwanto dengan mengevakuasinya ke Gedung Teknik.

"Sore itu saya tidak ingat hari apa, yang jelas bahwa mau Magrib itu penyerangan, mobil tank masuk. Itu sudah rentetan. Terjadi perlawanan besar-besar keluar, akhirnya tank masuk kampus menyerang kita. Tapi kita masih bertahan. Pak Zein Irwanto kita selamatkan di Gedung T Gedung Teknik. Karena tidak ada jalan lain. Ke belakang itu Sungai Pampang," jelas Faidar.

Mahasiswa UMI Makassar Berguguran

Saat dipukul mundur, sebagian mahasiswa berusaha menyelamatkan diri memilih untuk menyeberangi Sungai Pampang dengan perahu. Sayangnya perahu tersebut kelebihan muatan dan tenggelam.

"Nah, sore itu sebelum Magrib saling serang, akhirnya dipukul mundur kita. Ketakutan dan diuber teman-teman ada yang nyeberang itu naik di perahu. Karena kapasitas perahu melebihi kapasitas itu tenggelam," kata Faidar.

Saat perahu tersebut tenggelam, saat itulah salah satu mahasiswa, Tasrif, meninggal. Faidar kala itu ikut mengangkat jasad korban.

"Saya adalah bagian yang ikut mengangkat jenazahnya," ungkap Faidar.

Saat diketahui ada mahasiswa meninggal, Kasdam VII Wirabuana Brigjen Fachrul Rozi memanggil Faidar dan kawan-kawan untuk bertemu di Gedung Fajar. Fachrul Rozi meminta agar jasad Tasrif segera diberangkatkan ke kampung halaman di Gorontalo. Hal ini untuk menghindari konsentrasi massa keesokan harinya.

"Dia (Fachrul Rozi) minta saya dan teman-teman bahwa 'teman mu ini diberangkatkan karena ini murni kecelakaan'," ucap Faidar menirukan permintaan Fachrul Rozi kala itu.

Hal tersebut pun disetujui dan jasad Tasrif diberangkatkan pada malam harinya. Namun, ternyata keesokan harinya kembali ditemukan mahasiswa tak bernyawa di semak-semak di dekat Gedung Ekonomi UMI.

"Ternyata besok siang ada lagi ditemukan satu meninggal di dekatnya ekonomi. Menurut teman-teman yang melakukan evakuasi ada biru dan luka, ada di rerumputan belakang," kenang Faidar.

Sementara korban ketiga, Faidar mengaku tidak mendapatkan laporan. Bahkan, ia tidak mengetahui posisi ditemukannya korban ketiga saat itu.

Semangat Mahasiswa Kian Membara

Dengan ditemukannya mahasiswa yang meninggal menambah kobaran semangat massa aksi. Selain aksi menuntut kebijakan, aksi solidaritas pun akhirnya pecah.

"Turun lagi kita semua. Prosesnya ada negosiasi pemerintah tidak bisa menurunkan semua itu harga angkutan. Tapi dia bisa memberikan dispensasi bagi mahasiswa yang mau naik angkutan. Tidak naik harganya dengan syarat memperlihatkan kartu mahasiswa. Nah, yang hadir di situ tidak sepakat. Karena kami berjuang bukan untuk mahasiswa, tapi untuk kepentingan masyarakat umum. Kita tidak terima di situ," jelasnya.

Suasana terus memanas, akhirnya petinggi lembaga mahasiswa UMI yang kala itu sedang KKN ditarik kembali ke kampus. Seluruh elemen kampus di kemudian turun melakukan demonstrasi dan penutupan jalan.

"Kita kalau tidak salah, jalan satu minggu bergerak semua elemen kampus yang ada di Makassar. Itu melakukan aksi solidaritas. Tidak ada kecuali. Makassar ini jadi kota mati, Unhas juga tutup, IKIP (saat ini UNM) juga tutup," kata Faidar.

Dicap Sebagai Dalang Kerusuhan dan Diburu

Dari tragedi Amarah 1996 ini, Faidar dan 9 orang rekannya dinyatakan sebagai dalang kerusuhan mahasiswa di Makassar. Faidar pun sempat dipanggil pihak yang berwajib, bahkan sempat wajib lapor.

"Pernah menjadi wajib lapor. Nah, itu setelah dinyatakan 10 dalang kerusuhan mahasiswa Makassar. Itu yang muat Media Indonesia. Nama saya urutan ke dua," ungkapnya.

Faidar mengatakan, selama kisruh dirinya tidak pernah pulang ke rumah. Bahkan ia dan temannya terus bergerak berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain karena terus diburu.

"Itu kalau malam biasanya kita pindah-pindah. Karena kita dicari terus. Kita bergerak terus karena informasi terus juga kita sudah dicari. Setelah kejadian itukan kita sembunyi karena kita yang paling dicari. jadi tidak muncul di kampus," pungkasnya.




(asm/nvl)

Hide Ads