April Makassar Berdarah 'Amarah', Kisah Kelam Mahasiswa Kritik Pemerintah

April Makassar Berdarah 'Amarah', Kisah Kelam Mahasiswa Kritik Pemerintah

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Minggu, 24 Apr 2022 08:58 WIB
Kampus UMI Makassar
Foto: Kampus UMI Makassar. (Hermawan/detikSulsel)
Makassar -

Hari ini tepat 26 tahun yang lalu, 24 April 1996 peristiwa April Makassar Berdarah (Amarah) terjadi di Kota Daeng tepatnya di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Korban luka-luka hingga tewas berjatuhan saat mahasiswa mengkritik kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif angkutan umum.

Peristiwa itu bermula ketika sejumlah mahasiswa menyusun konsep pergerakan melalui Forum Pemuda Indonesia Merdeka (FPIM) sebelum 3 April 1996. Mahasiswa menolak kebijakan Menteri Perhubungan terkait kenaikan tarif angkutan umum yang ditindaklanjuti melalui surat keputusan (SK) Wali Kota Makassar Nomor 900 dan SK Gubernur Nomor 93 tentang penyesuaian tarif angkutan kota.

Kala itu tarif angkutan kota naik dari sebelumnya Rp 300 menjadi Rp 500 untuk penumpang umum. Sementara bagi mahasiswa dan pelajar ditetapkan Rp 200. Kebijakan ini kemudian dianggap terlalu tinggi sehingga mahasiswa menentang kebijakan tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan mahasiswa menentang kebijakan pemerintah saat itu bukan tanpa alasan. Ada pertimbangan krisis pangan yang terjadi pada 1992 yang setelahnya dilanjutkan dengan mulai terjadinya krisis ekonomi.

"Tahun 1992 kita krisis pangan, kemudian setelah itu masuk krisis ekonomi pada saat itu. Sehingga kan tidak memungkinkan ada kenaikan tarif angkutan pada saat itu. Itu substansi yang paling menjadi pertimbangan kenapa kita protes. Kenapa kita tolak," kata konseptor aksi saat itu, Laode Ota, saat berbincang dengan detikSulsel, Selasa (19/4/2022).

ADVERTISEMENT

Mahasiswa Deklarasi FPIM di Mandala

Pada 3 April 1996, mahasiswa yang tergabung dalam FPIM melakukan deklarasi penolakan di Tugu Mandala. Lokasi tersebut menjadi pilihan karena akan diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Pada saat itu, pergerakan yang dilakukan FPIM bertepatan dengan kegiatan HMI secara nasional. Pergerakan lantas disatukan dengan melakukan demonstrasi di kantor DPRD Sulawesi Selatan pada 8 April 1996. Pergerakan itu kemudian berlenggang hingga nasional.

Sayangnya, pergerakan mereka tidak mendapatkan respons dari pemerintah. Mahasiswa yang tergabung di FPIM kemudian kembali melakukan demonstrasi di kantor Gubernur Sulawesi Selatan pada 22 April 1996.

Saat itu gubernur dan wali kota sedang tidak berada di Makassar. Walhasil mahasiswa tidak mendapatkan jawaban atas tuntutannya terkait kenaikan tarif angkutan kota tersebut.

Aksi pun dilanjutkan. Para mahasiswa tetap berupaya agar aksi mereka mengandung tekanan bagi pemerintah. Mahasiswa bergeser dari kantor gubernur menuju depan kampus UMI untuk melanjutkan aksi dan membakar ban.

"Kita beraksi dan kita melakukan upaya untuk agar bagaimana ini ada tekanan. Kita setuju, oke pulang, tapi kemudian bersamaan berbagi tugas untuk melakukan pembakaran ban di UMI Makassar. Itu pertama ada istilah bakar ban di jalan," tutur Laode Ota.

Mahasiswa Ditangkap dengan Kondisi Luka-luka

Pergerakan mereka masih belum menuai respons pemerintah. Para mahasiswa kemudian mengerahkan seluruh mahasiswa UMI untuk ikut bergerak. Mereka kembali turun ke jalan pada 23 April 1996.

Menurut laporan, aksi mahasiswa pada 23 April 1996 dilakukan di depan kampus UMI dengan menahan DAMRI yang dipalang melintang di Jalan Urip Sumoharjo sehingga menimbulkan kemacetan. Kemacetan itu kemudian mengundang aparat keamanan dari kepolisian datang melakukan penanganan.

Satu truk mobil anti huru-hara sempat diturunkan, namun suasana dapat segera diatasi. Saat itu Dandim Letkol Art Sabar Yudo dan Kapoltabes Kolonel Andi Hasanuddin mencoba membangun dialog dengan beberapa tokoh mahasiswa.

Saat dialog berlangsung, satu truk aparat keamanan dari Garnisum membuat pagar betis di belakang pagar betis kepolisian. Mahasiswa dibuat mundur sembari melempari mobil DAMRI. Namun ketegangan tidak berlangsung lama.

Menjelang sore hari, dialog tersebut belum menemui titik temu. Hal ini kemudian menyebabkan aparat keamanan menyerbu dan mengejar mahasiswa di dalam kampus. Pengejaran dilakukan dengan pemukulan dan penembakan gas air mata.

Bentrokan fisik ini terus berkembang secara sporadis selama satu jam, dan memaksa mahasiswa mundur ke belakang kampus. Tidak kurang dari 20 mahasiswa ditangkap, digiring keluar dari lingkungan kampus dengan kondisi luka-luka.

Korban Meninggal Ditemukan di Sungai

Mahasiswa kembali menggelar demonstrasi di depan kampus UMI pada 24 April 1996. Sebuah mobil pengangkut sampah menjadi sasaran mahasiswa dengan menggulingkannya sebagai palang di jalan.

Aksi ini dipicu rasa kekecewaan mahasiswa atas ulah aparat keamanan yang masuk ke kampus, menganiaya, menangkap mahasiswa, merusak gedung perkuliahan, dan sejumlah kendaraan.

Aparat lalu datang menjelang Zuhur di depan pintu kampus, lengkap dengan persenjataan dan tiga panser. Kedatangan aparat membuat suasana memanas. Aparat memukul mundur mahasiswa ke dalam kampus.

Mahasiswa mencoba menahan agar aparat keamanan tidak masuk lebih ke dalam dan terjadi ketegangan. Dalam suasana memanas, seseorang melempar bambu ke arah aparat dan menyebabkan ketegangan dengan dilepaskannya tembakan gas air mata dan membuat mahasiswa berhamburan.

Menjelang Magrib, aparat keamanan meninggalkan lingkungan kampus UMI namun tetap berjaga di depan kampus. Masyarakat lalu datang memberitahu mahasiswa bahwa ada beberapa yang terjun ke sungai dan belum juga muncul.

Seorang mahasiswa ditemukan sekarat pada pukul 18.15 Wita, lalu segera dilarikan ke Rumah Sakit (RS) 45, identitasnya tidak diketahui karena tanda pengenal hilang. Seorang lagi ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dengan posisi kepala sampai pinggul terbenam di lumpur. Korban bernama Syaiful Bya (21), mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur UMI angkatan 94.

Korban masih ditemukan pada 25 April 1996. Korban itu bernama Andi Sultan Iskandar (22), mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI angkatan 94. Sekujur tubuhnya penuh luka.

Memasuki tengah hari, masyarakat kembali menemukan korban atas nama Muh Tasrief (21) dengan luka pada bagian muka dan badannya. Dia merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI angkatan 94.

"Saat mahasiswa UMI secara serentak melakukan demo, aparat mulai menyerbu kampus hijau tersebut. Terjadilah tragedi Amarah, yang mana tiga nyawa mahasiswa melayang. Mereka adalah Tasrif, Saiful Byah, dan Andi Sultan," ucap Laode Ota.

Pada 26 April 1996, aparat tetap menguasai kampus UMI. Praktis hal ini membuat para mahasiswa tidak bisa masuk kampus dan melakukan aktivitas perkuliahan.




(asm/nvl)

Hide Ads