Kasus COVID-19 di Sulawesi Selatan (Sulsel) melandai dalam sepekan terakhir. Namun transisi masa pandemi menuju endemi belum memenuhi indikator.
"Ada syarat untuk bisa masuk fase endemi. Sulsel masih perlu upaya ekstra untuk menuju ke sana," papar Epidemiolog Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Ridwan Amiruddin kepada detikSulsel, Rabu (23/3/2022).
Sejumlah syarat yang dimaksud di antaranya kasus aktif yang semakin terkontrol. Selain itu laju positivity rate di bawah 5 % selama beberapa pekan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara dari data Satgas COVID Sulsel yang diterima pada Rabu (23/3), kasus aktif Corona masih berada di angka 3.280 kasus. Ada penurunan signifikan sebanyak 4.700 kasus jika dibandingkan data pekan sebelumnya pada Rabu (16/3) yang mencapai 7.980 kasus.
Laju kasus atau positivity rate juga turun dari 17,87% menjadi 10,75% di periode yang sama. Kemudian bed occupancy ratio (BOR) untuk ICU mencapai 14,81% turun menjadi 9,95%.
"BOR rumah sakit (RS) yang rendah dan cakupan vaksin yang semakin meningkat sesuai standar," sambung Ridwan.
Sementara cakupan vaksinasi Sulsel berdasarkan data Satgas COVID Sulsel per tanggal 22 Maret 2022, mencapai 86,29% untuk dosis satu dari total target sasaran 7.058.141 warga. Sedangakn vaksinasi dosis dua terealisasi 61,11%.
"Kita mengarah ke sana (fase endemi)," tambah Plt Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel Arman Bausat yang dihubungi terpisah, Rabu (23/3).
Makassar Lewati Puncak Gelombang Ketiga
Sementara laju penularan COVID pun mengalami tren penurunan bahkan melewati gelombang ketiga. Apalagi dari laporan Satgas COVID-19 per tanggal 22 Maret 2022 tercatat kasus aktif positif di Makassar saat ini sebanyak 839.
Di mana pada pekan sebelumnya, yakni pada 15 Maret kasus aktif tercatat sebanyak 1.467. Artinya ada penurunan 628 kasus dalam sepekan terakhir.
"Dari kurva epideminya menunjukkan seperti itu, (gelombang ketiga COVID-19) sudah menurun dan melewati puncaknya," ujar pakar epidemiologi Unhas Dr Ansariadi kepada detikSulsel, Rabu (23/3).
Situasi itu berdampak pada indikator lainnya yang terkontrol. Hanya positivity rate masih berada pada level sedang, yaitu 6,26% atau kurang dari 5% per minggu.
"Kita berharap penurunan positivity rate akan terus terjadi pada minggu minggu berikutnya. Apalagi kondisi di rumah sakit di mana BOR juga sangat memadai, yaitu hanya 7,33%," urai Ansariadi.
Status Endemi Tak Menghilangkan Ancaman
Epidemiolog Unhas Ansariadi menyebut kriteria suatu wilayah untuk dinyatakan endemi belum ada. "Sampai saat ini tidak ada kriteria khusus untuk menyatakan COVID itu bisa disebut endemi," ungkap dia.
Apalagi meski berada pada fase endemi, ancaman COVID bukan berarti hilang. Penularan masih terjadi, dan perlu untuk diwaspadai.
"Karena kalau kita menyatakan endemi, maka itu hanya mengubah levelnya, tidak mengubah tantangan dari penyakit itu sendiri," tegas Ansariadi.
Dia menganalogikan, penyakit seperti malaria saat ini sudah dinyatakan sebagai endemi. Namun setiap tahun ratusan ribu orang meninggal karena penyakit tersebut.
"Jadi sekali lagi kita harus hati-hati menerapkan istilah endemik ini," terang dia.
Kasus COVID Masih Berpotensi Meningkat
Ansariadi menekankan agar pemerintah tetap fokus pada upaya pencegahan dan pengendalian COVID. Tanpa harus disibukkan dengan istilah status pandemi menuju endemi.
"Kehati-hatian upaya pencegahan harus tetap dilakukan dengan ketat. Karena kalau tidak maka tidak menutup kemungkinan kasus akan meningkat kembali," tutur dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas ini.
Ansariadi menambahkan, protokol kesehatan sebagai standar pencegahan COVID tetap harus diterapkan. Apalagi walaupun di kemudian hari COVID berstatus endemi, virus Corona masih ada.
"Kemungkinan penyakit (COVID) ini akan tetap ada. Namun berada pada level yang sangat rendah," jelas Ansariadi.
(sar/hmw)