Ahli Tata Negara Unhas Nilai Wacana Pemilu 2024 Ditunda Kemunduran Demokrasi

Ahli Tata Negara Unhas Nilai Wacana Pemilu 2024 Ditunda Kemunduran Demokrasi

Andi Nur Isman - detikSulsel
Senin, 28 Feb 2022 13:53 WIB
Ilustrasi surat suara pemilu 2019
Foto: Surat suara Pemilu 2019. (Rifkianto Nugroho/detikcom)
Makassar -

Wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 dinilai punya banyak konsekuensi. Jika itu benar terjadi, maka bisa menjadi kemunduran demokrasi dan mencederai amanat reformasi di Indonesia.

"Pertama pasti akan mengganggu sirkulasi kepemimpinan, di mana juga akan mencederai amanat reformasi yang telah dijalankan selama ini, bahwa maksimum masa jabatan presiden adalah dua kali (setiap 5 tahun)," ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas), Aminuddin Ilmar, kepada detikSulsel, Senin (28/2/2022).

Menurutnya, dengan dilakukannya penundaan di Pemilu 2024 maka akan mengganggu sistem lain, misalnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal ini dinilai akan sangat berimplikasi dan bisa menimbulkan persoalan lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lagi pula, Ilmar mengatakan penundaan Pemilu harus punya legitimasi. Sementara legitimasi tersebut harus didasarkan pada amandemen perubahan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

"Mungkin saja itu bisa dilakukan tapi bagi saya sebenarnya itu akan mencederai proses demokrasi yang sedang kita jalankan. Adapun berbagai alasan, argumentasi, bahwa keadaan ekonomi, pandemi, dan juga kinerja presiden bagus, itu bukan alasan menurut saya," sebutnya.

ADVERTISEMENT

"Persoalan dasarnya kita sudah membangun proses demokrasi sedemikian rupa. Masa kita harus mundur lagi ke belakang dengan hanya berdasarkan argumentasi yang menurut saya tidak bisa diterima secara logika," sambungnya.

Dampak terburuk dari penundaan Pemilu ini pun disebut bisa menimbulkan ketikdakpatuhan rakyat terhadap demokrasi. Sebab mereka bisa saja mengambil contoh dari kebijakan-kebijakan segelintir elite politik yang sedang berkuasa.

"Sistem aturan kita itu sudah kita sepakati bersama bahwa masa jabatan itu tetap tidak boleh berubah-ubah, hanya karena kepentingan segelintir orang, kepentingan kelompok, kepentingan rezim tertentu," pungkasnya.

Dilansir detiknews (baca selengkapnya di sini), Senin (28/2) isu perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun lalu. Awalnya isu yang santer didengungkan adalah Jokowi tiga periode. Sudah ada kelompok relawan yang mendeklarasikan aspirasi Jokowi 3 periode ini. Namun di penghujung 2021 Jokowi menegaskan menolak aspirasi ini.

Isu perpanjangan jabatan lalu bermutasi, tak lagi menjadi tiga periode namun 'hanya' perpanjangan beberapa tahun. Salah seorang pemukul gong isu ini adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di awal tahun, saat mengaku menampung aspirasi dari sejumlah pengusaha yang ingin pemilu ditunda setidaknya hingga tahun 2027 demi pemulihan ekonomi yang remuk akibat pandemi.

Namun isu itu tenggelam setelah Jokowi bicara kepada sejumlah pemimpin redaksi media massa bahwa dia tak pernah terpikir untuk menjabat tiga periode. Jokowi memang tak membahas soal perpanjangan jabatan hingga 2027, namun penegasannya menolak tiga periode pada 19 Januari lalu berhasil meredam isu perpanjangan jabatan.

Isu panas tersebut lalu dilempar lagi oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar pada 23 Februari lalu. Mirip seperti yang disampaikan Bahlil, Cak Imin mengaku menampung sejumlah aspirasi dari pelaku usaha yang ingin pemilu ditunda satu atau dua tahun demi pemulihan ekonomi.




(asm/nvl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads