Akhir-akhir ini semakin banyak ditemukan kasus-kasus perumahan mangkrak. Pembangunan perumahan tersebut tidak kunjung selesai, sementara pengembang tidak bisa memberikan kepastikan penyelesaiannya.
Rata-rata kasus-kasus ini menimpa konsumen yang telah membeli sebelum rumah jadi. Dalam kata lain masih berbentuk gambar di brosur, sudah langsung kepincut.
Umumnya konsumen tertarik membeli karena tergiur harganya, lokasinya, melihat proyek pengembang sebelumnya yang berhasil, hingga bonus-bonus yang dijanjikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seharusnya konsumen jangan tergiur begitu saja. Ketika membeli rumah tetap harus realistis dan memperhitungkan segala kemungkinan, apalagi untuk membeli benda yang belum ada wujudnya.
Menurut pengamat properti yang juga Direktur Global Asset Management Steve Sudijanto saat ini semakin banyak pengembang 'modal dengkul' yang jago menawarkan barang tetapi tidak memiliki modal yang cukup, tidak amanah, dan mau ambil untung besar saja tanpa memikirkan reputasi jangka panjang.
Ia mengingatkan kepada calon konsumen, sebelum membeli rumah, periksa sederet hal penting ini agar tidak mudah ditipu atau menjadi korban proyek mangkrak.
1. Cari Pengembang yang Memiliki Kredibilitas
Sebelum membeli rumah, terutama yang belum mulai dibangun, cari tahu dulu siapa pengembangnya. Caranya dengan mencari di internet. Bisa melalui website Sistem Informasi Registrasi Pengembang (Sireng) yang dikelola oleh BP Tapera dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Bisa juga dengan memasukkan nama pengembang di mesin pencarian, seperti Google. Pengembang bermasalah pasti ketahuan dari pemberitaan atau jejak media sosial.
2. Cek Status Kepemilikan Tanah
Setelah itu calon konsumen harus memastikan pengembang tersebut membangun rumah di tanah milik mereka. Pengecekan ini untuk menghindari kasus double kepemilikan tanah. Kasus seperti ini berisiko pemilik rumah dapat tergusur atau pemilik rumah justru diminta membayar ulang. Cara untuk mengetahui kepemilikan tanah tersebut adalah dengan mengecek ke Kementerian ATR/BPN, kelurahan, atau meminta notaris untuk dibantu dicek.
3. Perizinan Pendirian Perumahan
Selain melihat status kepemilikan tanah, calon konsumen juga harus mengecek status pendirian perumahan. Sebab, jika bagian ini dilewatkan, risiko akan sama saja, yakni rumah bisa digusur karena berdiri secara illegal.
Kemudian, pastikan lokasi lahan perumahan memang di lahan yang diperbolehkan oleh negara. Steve mengatakan hindari perumahan yang didirikan di lahan hijau produktif, seperti hutan dan sawah.
"Karena status kepemilikan dan perizinan itu dua faktor utama. (Tanpa dua hal itu) bisa menghambat penyelesaian-penyelesaian rumah tersebut. Kalau rumah itu dibangun di atas tanah yang belum legal oleh developer, kan pusing kita," ujar Steve saat dihubungi detikcom pada Senin (1/12/2025).
4. Sudah Harus Ada Infrastruktur
Ketika hendak membeli rumah, banyak yang menyarankan untuk survei langsung. Alasannya bukan hanya untuk dapat melihat langsung rumahnya, melainkan melihat juga infrastruktur di sekitarnya, sebagai contoh kondisi jalan, irigasi, listrik, ada kali atau sungai di dekatnya.
"Kita mau beli rumah kan paling tidak jalan masuk, infrastruktur yang sangat sederhana, jalan, irigasi, air kotor dan air bersihnya sudah tersambung. Irigasi air kotornya ada, saluran airnya sudah ada, gorong-gorongnya, terus sambungan PAM, sambungan PLN, tiang-tiang penerangan jalannya sudah di tempat, terus gardu PLN-nya sudah masuk," ujarnya.
5. Spesifikasi Bangunan
Apabila urusan di atas dipastikan aman, calon konsumen baru bisa mengecek soal bangunannya. Detail yang harus dicek adalah soal material yang dipakai.
"Contohnya beton bertulang, atapnya baja ringan, dindingnya umpamanya dari bata ringan, beton bertulang, lantainya keramik, terus ada sambungan listriknya berapa kapasitasnya. Spesifikasi bangunan itu harus dipelajari karena itu akan tercantum di perjanjian akte jual beli (AJB) dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Itu lampiran spesifikasi bangunan itu wajib dicantumkan," terang Steve.
6. Fasilitas Eksternal
Faktor eksternal yang harus dicek, seperti fasilitas arena bermain, akses transportasi umum, ketersediaan pasar, sekolah, fasilitas kesehatan, hingga rumah ibadah.
7. Dokumen Pembelian Rumah
Setelah semua dicek, tahap terakhir adalah memperhatikan isi surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Bagian ini tidak kalah penting karena jika calon konsumen sudah sampai di tahap ini berarti sudah yakin membeli. Pastikan dalam PPJB tersebut tertera waktu kapan SHM akan diberikan.
Dalam tahap ini bukan hanya dokumen-dokumen yang harus dicek, melainkan cara pembayaran rumah juga. Steve menyampaikan ada tiga cara pembayaran, yakni KPR, cash bertahap, dan cash keras atau langsung lunas.
"Saya anjurkan, membayar cicilan rumah kalau KPR itu biasanya kita bayar DP, umpamanya 10-20 persen. Itu DP-nya jangan dibayar sekaligus, ini kasus KPR. Dibayar sesuai dengan progres rumah tersebut. Jadi, kalau rumahnya sudah naik (dibangun sampai) genteng, yaudah kita bayar lunas 30 persen DP-nya, sisanya baru kita masuk ke perjanjian KPR," ujar Steve.
Ia melarang keras membayar ketika rumah baru peletakkan batu pertama. Hal tersebut sangat berisiko. Ia meminta para calon konsumen jangan mudah mengikuti perkataan pengembang karena lebih berisiko jika ternyata proyeknya mangkrak, sementara uang sudah diberikan atau KPR sudah berjalan.
"Jadi saya saran genteng sudah terpasang rapi kita bayar 30 persen atau 20 persen atau 15 persen tergantung dari perjanjian down payment-nya baru kita masuk ke perjanjian KPR. Karena ya sudah wajar lah, bangunannya sudah ada wujudnya," ucap Steve.
Itulah beberapa hal yang harus diperhatikan, semoga bermanfaat dan terhindar dari pengembang nakal.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(aqi/abr)











































