Perceraian tidak sekadar mengakhiri hubungan pernikahan saja, tetapi ada aspek lainnya yang perlu diselesaikan juga. Salah satunya terkait pembagian harta seperti rumah yang dimiliki dan dihuni bersama.
Notaris yang juga Ketua Pengda Kota Yogyakarta IPPAT, Muhammad Firdauz Ibnu Pamungkas mengatakan orang yang bercerai sering kali lupa mengurus pembagian harta karena lebih mementingkan tuntasnya proses perceraian terlebih dulu.
Soal rumah bersama, sepanjang tidak ada perjanjian pernikahan atau pranikah, maka rumah biasanya dianggap sebagai harta bersama atau harta gono-gini. Hal tersebut terlepas dari siapa yang bekerja maupun berapa nominal penghasilan antara suami dan istri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mana kala dia (pasangan suami-istri) bercerai, tetap itu (rumah) dianggap harta gono-gini, harta bersama. Kalau harta gono-gini itu secara normatif gampangannya, umpamanya, (dan) mudahnya pasti dibagi dua sama rata," ujar Firdauz kepada detikcom belum lama ini.
Namun, bila ada perselisihan atau sengketa terkait pembagian rumah, maka pihak tersebut bisa mengajukan gugatan harta gono-gini. Selanjutnya, akan ada serangkaian prosedur untuk membuktikan kepemilikan rumah untuk menyelesaikan persoalan pembagian harta.
"Dia (penggugat) harus membuat gugatan harta gono gini. Nanti hakim yang memutuskan, biasanya dengan mediasi, terus perdamaian. Dia (penggugat) mau menyampaikan fakta-fakta di lapangan. Kadang-kadang ada yang diributkan, dia punya mobil, tabungan, (dan) rumah," katanya.
Kemudian, Firdauz menjelaskan pertimbangan pertama yang dilihat oleh hakim adalah kapan pernikahan dilangsungkan dan kapan rumah diperoleh. Apabila rumah diperolehnya sebelum menikah, otomatis akan dianggap sebagai harta bawaan masing-masing. Sebaliknya, bila rumah diperoleh setelah menikah, maka dianggap sebagai harta bersama.
Selain itu, ia menyebutkan tanggal pernikahan juga dapat menentukan rujukan undang-undang yang berlaku dalam penyelesaian hukum. Apabila kedua pihak menikah sebelum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, hakim bisa memiliki pendapat lain soal pembagian harta tersebut.
"Kalau sudah ada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentunya sudah ada rujukannya. Hakim akan merujuk pada undang-undang pokok perkawinan. Di undang-undang pokok perkawinan juga diatur tentang harta bersama," ucapnya.
"Harta yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi harta bersama, sementara harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan itu juga penguasaan masing-masing kepada pihak kecuali tidak ditentukan lain," sambungnya.
Terkait harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sementara mengenai harta bawaan, suami dan istri memiliki hak sepenuhnya untuk melakukan hukum mengenai harta bendanya.
Adapun surat perjanjian kawin atau pranikah yang menentukan soal pembagian harta setelah bercerai menurut Firdauz hanya sebagai opsi dan hak bagi pasangan supaya menghindari perselisihan, maka terkadang menjadi jalur kebutuhan privat dewasa ini.
(dna/dna)