Waktu yang ditetapkan bisa belasan tahun atau puluhan tahun. Lalu, untuk bunga yang dikenakan, ada yang bunganya tidak tetap atau floating dan ada pula yang tetap atau flat. Biasanya bunga yang flat ini berlaku bagi nasabah yang mengambil KPR syariah.
Sistem pembayaran seperti ini, menurut sebagian orang lebih mudah karena biaya cicil yang kecil dan dapat disesuaikan dengan gaji bulanan mereka. Namun, adanya pengenaan bunga dalam pembayarannya membuat sebagian orang ragu untuk mengambil KPR. Sebab, dalam Islam, bunga adalah salah satu hal yang harus dihindari karena segala kegiatan yang dikenakan bunga dinilai sebagai praktik riba.
Lantas, bagaimana Islam memandang pembelian rumah secara kredit? Apakah KPR termasuk riba?
Sebelum mengetahui mubah atau haram, kamu perlu mengetahui konsep dari pembagian akad kredit jual beli berdasarkan akad pemberian kreditnya.
1. Kredit dengan Uang Muka atau DP
Dalam jual beli rumah, pasti ada istilah down payment (DP) atau uang muka. Biasanya DP ini tidak ditanggung pembayarannya oleh bank.
Dalam kajian yang diunggah dalam laman NU Online, seperti yang dikutip detikcom, disebutkan bahwa apabila ada uang muka (termasuk di dalamnya adalah subsidi pemerintah), maka akad pembiayaan/perkreditan jenis ini disebut dengan akad musyarakah mutanaqishah bi nihaayatit tamlik.
Akad ini juga disebut dengan akad ijarah muntahiyah bit tamlik, yaitu sebuah akad sewa guna usaha yang disertai dengan akhir berupa perpindahan kepemilikan sepenuhnya kepada pembeli.
Tata cara kredit yang dibenarkan secara fiqih bila menjalankan akad ini sebagai berikut.
1. Harga barang ditentukan di awal. Uang muka yang berasal dari pembeli dan/atau berasal dari subsidi secara tidak langsung menjadi bagian dari modal/saham pembeli terhadap aset.
2. Besaran harga sewa ditentukan di awal dan dibagi menurut porsi kepemilikan kedua pihak yang berserikat terhadap aset yang disewakan.
3. Harga sewa terhadap harga pokoknya harus berkurang seiring angsuran dibayarkan. Dan apabila tidak ada penurunan harga sewa, maka akad musyarakahnya menjadi fasidah (rusak), sedangkan selisih uangnya bisa disebut sebagai riba.
ولا يجوز أيضا قرض نقد أو غيره إن اقترن بشرط رد صحيح عن مكسر أو رد زيادة على القدر المقدر أو رد جيد عن ردئ أو غير ذلك من كل شرط جر نفعا للمقرض ببلد أخر أو رهنه بدين أخر فإن فعل فسد العقد لأن كل قرض جر نفعا فهو ربا
Artinya: "Tidak boleh utang nuqud (emas/perak) atau selainnya jika disertai dengan syarat pengembalian berupa barang bagus serta tidak pecah, atau tambahan takaran tertentu, atau mengembalikan berupa barang bagus dari barang jelek, dan seterusnya, termasuk semua syarat yang memberi manfaat [tambahan] kepada orang yang memberi utang yang berada di negara lain (misal: beda kurs) atau gadai dengan hutang yang lain (agunan), maka jika dilakukan hal semacam ini (oleh muqridl), maka rusaklah akad, karena sesungguhnya setiap utang yang muqridl mengambil manfaat [dari pihak yang dihutangi] adalah sama dengan riba." (Lihat Muhammad bin Salim bin Said Babashil al-Syafi'iy, Is'adu al-Rafiq wa Bughyatu al-Shiddiq, Singapura: Al-Haramain, Tanpa Tahun, Juz: 1/142).
Akad satu ini hukumnya boleh dilakukan karena masuk kategori akad tabarru' dan ta'awun (sosial).
2. Kredit Tanpa Uang Muka (DP 0%)
Selanjutnya, apabila cicilan tersebut dilakukan tanpa DP sebelumnya, biasanya rumah tersebut dapat dibeli tanpa memberi DP sama sekali di awal. Untuk pembiayaan kredit tanpa DP, akad kreditnya disebut dengan akad bai' murabahah, yaitu jual beli dengan disertai tambahan keuntungan bagi Lembaga Pembiayaan atau Lembaga Perkreditan.
Ketentuan akad ini disarankan seperti ini:
1. Ketiadaan uang muka (down payment)
2. Harga barang ditentukan di muka dan biasanya lebih mahal dari harga pembelian secara kontan
3. Cicilan pembayaran memiliki jumlah tetap dari awal hingga akhir waktu angsuran.
4. Ada kesepakatan lama angsuran, misalnya diangsur 2 kali selama satu tahun, 3 kali, dan atau bahkan setiap bulan.
Karena besar angsuran yang tetap ini, maka jual beli semacam ini sering diistilahkan dengan bai' taqshith, bai' muajjalan atau bai' bi al-tsamani al-ajil.
Akad ini juga hukumnya boleh dilakukan karena masuk kategori akad tabarru' dan ta'awun (sosial).
Apakah KPR Termasuk Riba?
Jika mencermati penjelasan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa jual beli secara kredit diperbolehkan dalam syariat Islam.
Syarat terpenting adalah harga rumah telah ditentukan di awal. Pembelian dengan skema KPR tidak mengandung riba apabila mengikuti akad musyarakah muntahiyah bit tamlik atau bai' murabahah.
Angsuran yang diharamkan karena mengandung riba adalah apabila jual beli tersebut dikenakan DP (Down Payment), tetapi besaran angsurannya tetap (fixed) selama berlangsungnya masa cicilan kredit atau angsuran. Tidak ada pengurangan jumlah angsuran di akhir. Sebab, dalam mengambil angsuran musyarakah mutanaqishah mensyaratkan turunnya harga sewa seiring masa angsuran/penebusan kredit.
Apabila kamu ingin membeli rumah dengan cara mencicil dan sesuai syariat Islam, coba ajukan ke KPR syariah yang biasanya menggunakan margin keuntungan yang telah disepakati di awal.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini (aqi/das)