Membeli rumah bukan sekadar membayar harga jualnya saja, tetapi ada biaya lain yang juga perlu ditanggung oleh konsumen. Salah satunya ada Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) setiap melakukan transaksi.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan BPHTB adalah pungutan kepada konsumen ketika membeli rumah. Bea ini wajib dibayarkan konsumen kepada Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai syarat untuk bisa balik nama sertifikat kepemilikan nantinya.
"BPHTB dibayarkan ke Pemda sebagai pendapatan daerah. Dibayar langsung ke daerah bukan ke pengembang, harganya 5% paling tinggi dari harga jual," ujar Ali kepada detikProperti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menambahkan BPHTB dapat dikenakan saat membeli tanah dan bangunan atau hanya tanah saja. Tidak masalah status tanah hak milik atau hak guna bangunan tetap akan dipungut BPHTB.
Selain itu, Ali mengungkapkan dalam beberapa kasus terkadang BPHTB bisa disertakan dalam harga jual rumah oleh pengembang. Hal ini untuk memudahkan konsumen dalam pembayaran. Sebab, BPHTB yang harus dibayarkan secara cash dapat memberatkan konsumen.
Apabila BPHTB dimasukkan ke harga jual, maka seakan-akan pengembang yang membayar. Adapun dasar BPHTB nantinya berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Untuk menghitung besaran BPHTB, harga jual rumah akan dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) terlebih dahulu. Besaran NPOPTKP tergantung pada pemerintah daerah masing-masing.
Ali mencontohkan membeli rumah seharga Rp 500 juta dikurangi NPOPTKP misalnya sebesar Rp 60 juta, maka hasilnya Rp 440 juta. Lalu, Rp 440 juta dikalikan 5%, sehingga BPHTB yang harus dibayar oleh konsumen sebesar Rp 22 juta.
Terpisah, Pengamat Properti sekaligus Direktur PT. Global Asset Management Steve Sudijanto menjelaskan besaran BPHTB berdasarkan nilai transaksi atau harga jual. Namun, penggunaan nilai transaksi itu pun tergantung pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Dasar perhitungan BPHTB tergantung nilai yang lebih tinggi antara harga jual atau NJOP. Apabila nilai transaksi atau harga jual di bawah NJOP, maka dasar yang digunakan NJOP. Sedangkan, kalau harga jual lebih tinggi dari NJOP, maka yang digunakan adalah harga jual.
"Contoh NJOP tanah dan properti Rp 2 miliar, karena dijual Rp 1,5 miliar, berarti lebih rendah nilai transaksi di bawah NJOP Rp 500 juta. Apa yang akan dipakai dalam pembayaran pajak itu? NJOP Rp 2 miliar," jelasnya.
(dhw/das)