Badai musim dingin yang disertai hujan lebat, memperparah kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina. Bangunan-bangunan yang strukturnya telah melemah akibat pengeboman Israel, mulai runtuh karena badai hujan. Hal itu, mengancam keselamatan warga yang masih bertahan di rumah-rumah rusak.
Melansir The National News, Jumat (19/12/2025), cuaca ekstrem memaksa banyak keluarga harus menghadapi pilihan hidup yang sulit. Mereka harus tinggal di bangunan yang berisiko runtuh kapan saja atau mengungsi ke tenda-tenda darurat yang juga nyaris tak mampu melindungi dari hujan dan cuaca dingin.
Juru bicara Pertanahan Sipil Gaza, Mahmoud Bassal, memperingatkan bahwa situasi tersebut sangat berbahaya bagi warga sipil. Tim pertahanan telah mengevakuasi puluhan keluarga setelah bangunan tempat tinggal mereka ambruk selama badai berlangsung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di daerah seperti Sheikh Radwa di barat laut Kota Gaza, hingga 90 persen bangunan yang tersisa berisiko runtuh." ujarnya, dikutip dari The National News.
Dampak badai musim dingin di Gaza, lebih luas daripada yang diperkirakan. Menurut data yang dipublikasi oleh media dari rumah yang tersisa pasca perang, setidaknya 17 bangunan runtuh sepenuhnya, dan sekitar 90 bangunan lainnya ambruk sebagian akibat hujan dan angin kencang yang melanda wilayah itu.
Tak hanya itu, banjir yang cukup besar juga melanda tenda pengungsian di Jalur Gaza. Ribuan keluarga kembali kehilangan tempat tinggal. Mahmoud Bassal menyebut tim pertahanan sipil menerima lebih dari 5.000 panggilan darurat sejak badai mulai melanda.
"Setidaknya 17 orang meninggal karena kedinginan, termasuk empat anak, sementara puluhan lainnya tewas akibat bangunan yang runtuh," ujarnya.
Tim penyelamat juga sempat kewalahan. Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah tersebut.
Organisasi kemanusiaan yang berbasis di Inggris, Save the Children, menyatakan bahwa mereka belum dapat membawa pasokan bantuan ke Jalur Gaza sejak Maret, ketika Israel memberlakukan blokade total.
Tenda Pengungsi Kebanjiran Foto: The National News |
Meskipun gencatan senjata telah berlaku sejak 10 Oktober, akses bantuan kemanusiaan masih sangat terbatas. Israel dilaporkan terus memblokir masuknya bantuan tenda, selimut, dan perlengkapan tempat berlindung lainnya, di tengah badai musim dingin yang melanda.
Melansir AP News, hujan deras selama sepekan terakhir telah meruntuhkan bangunan yang sudah rapuh akibat perang dan lumpur membanjiri tenda di permukiman pengungsi. Banyak orang dilaporkan tewas, termasuk seorang bayi berusia dua minggu yang meninggal akibat hipotermia.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan, bayi tersebut sempat dirawat intensif sebelum meninggal dunia. "Bayi berusia dua minggu itu meninggal karena hipotermia akibat cuaca buruk," ujar pejabat Kementerian Kesehatan Gaza, dikutip AP News.
Di Kota Gaza, seorang pria dilaporkan meninggal dunia, sementara lima orang lainnya mengalami luka-luka.Rumah-rumah di kota tersebut juga terdampak.
"Kami berhasil menyelamatkan diri di saat-saat terakhir," ujar Mohammed Abu Al Qumsan, salah satu warga yang rumahnya nyaris roboh.
Menurut Pusat Satelit PBB, hampir 80 persen bangunan di Gaza telah hancur sejak perang berlangsung. Kondisi ini membuat banyak warga terpaksa tinggal di reruntuhan atau tenda-tenda yang tidak layak huni.
"Setiap kali badai datang, air merembes ke dalam tenda kami dan selimut menjadi basah kuyup," ujar Mohammed Gharableh, seorang pengungsi dari Rafah.
Organisasi kemanusiaan dan PBB memperingatkan bahwa lebih dari 1,3 juta orang di Gaza kini membutuhkan bantuan tempat tinggal mendesak. Juru Pertahanan Sipil Gaza juga turut menyatakan bahwa musim dingin ini mematikan dengan kombinasi perang, cuaca ekstrem, dan minimnya bantuan yang menyebabkan krisis pertolongan kemanusiaan semakin parah.
(das/das)











































