Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi belum lama ini mengeluarkan surat edaran yang berisi penghentian sementara pemberian izin pembangunan perumahan di Bandung Raya. Hal ini tentunya terjadi bukan tanpa alasan.
Keputusan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM yang diteken Dedi pada 6 Desember 2025. Alasan kebijakan itu diambil adalah untuk mitigasi terjadinya bencana lanjutan atau berulang.
Dalam surat itu, Dedi meminta pemerintah daerah untuk melakukan peninjauan kembali apabila lokasi pembangunan rumah terbukti berada pada kawasan rawan bencana atau berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, pemerintah daerah juga diminta meningkatkan pengawasan terhadap pembangunan rumah atau perumahan dan bangunan gedung agar sesuai dengan peruntukan lahan dan rencana tata ruang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini bisa jadi merupakan salah satu cara untuk mencegah kembali terjadinya bencana banjir dan longsor di sekitar Bandung seperti beberapa waktu lalu. Pada Kamis (6/12), Pemerintah Kabupaten Bandung telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir dan longsor setelah rentetan bencana tersebut terjadi sejak Kamis (4/12).
Dilansir dari detikJabar, kejadian ini menimpa 14 kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung akibat hujan dengan intensitas tinggi. Wilayah yang terendam banjir seperti di Kecamatan Katapang, Bojongsoang, Pangalengan, Dayeuhkolot, Baleendah, Margahayu, Margaasih, dan Soreang. Sementara itu yang terdampak longsor yaitu sekitar Kecamatan Arjasari, Kertasari, Pasirjambu, dan Kutawaringin ada di dua desa yaitu Desa Sukamulya dan Desa Padasuka.
Bukan hanya karena intensitas hujan yang tinggi, penyebab banjir dan longsor terjadi karena alih fungsi lahan dan tidak sesuainya tata ruang. Hal ini disampaikan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada Jumat (5/12).
Dedi juga mengkritik keras praktik pemberian izin perumahan yang menguruk daerah aliran sungai (DAS) dan rawa-rawa, yang memperburuk banjir musiman di Kabupaten Bandung. Ia menegaskan, praktik tersebut harus dihentikan dan ditinjau ulang karena menghilangkan fungsi-fungsi resapan air.
Lalu pada Sabtu (6/12) terbitlah surat edaran penghentian sementara pemberian izin pembangunan rumah di Bandung Raya. Asosiasi pengembang perumahan pun juga sudah mendapatkan informasi mengenai kebijakan tersebut.
Baca juga: Sederet Fakta Banjir di Kabupaten Bandung |
Dari sisi pengembang, Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Jawa Barat Norman Nurdjaman mengakui bahwa di Bandung Raya memang banyak perumahan ilegal yaitu perumahan yang berdiri tanpa sertifikat dan persetujuan bangunan gedung (PBG). Beberapa contoh wilayahnya yaitu di Kecamatan Katapang dan Kecamatan Rancamanyar di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, serta Sumedang.
"Ya betul di wilayah Bandung Raya khususnya Kabupaten Bandung banyak perumahan ilegal (perumahan tanpa sertifikat & IMB/PBG), mereka banyak menggunakan wilayah yang tidak boleh dibangun tapi tetap dibangun (tidak sesuai peruntukkan)," ujarnya kepada detikcom, Selasa (9/12/2025).
Ia mengatakan, perumahan ilegal ini bisa semakin marak apabila tanah sawah yang saat ini dipakai untuk membangun rumah termasuk ke dalam lahan sawah dilindungi (LSD) dan tidak diberikan izin oleh pemerintah untuk dialihfungsikan.
Norman menuturkan, untuk mendapatkan izin pembangunan rumah mulai dari pengajuan perizinan hingga terbit sertifikat dan PBG paling cepat membutuhkan waktu satu tahun. Sementara itu, menurutnya perumahan ilegal bisa langsung menjual produknya setelah membeli tanah.
"Anggota REI pasti PT (Berbadan Hukum) yang pemilikan tanahnya SHGB, sebelum SHGB terbit ada proses perizinan yang harus ditempuh. Justru perumahan ilegal ini yang membuat iklim persaingan usaha menjadi tidak sehat," tuturnya.
Di sisi lain, Bupati Bandung Dadang Supriatna juga mengungkapkan adanya pengembang nakal yang tidak memperhatikan lingkungan setelah menyelesaikan proyeknya. Contohnya seperti yang ada di Cileunyi.
"Iya pengembang di Cileunyi tidak bertanggung jawab atas penanggulangan banjir di wilayah setempat. Pengembang itu tak komitmen dengan janjinnya saat pengajuan di awal, dalam hal ruang terbuka hijau, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Tapi pembangunan tetap dilaksanakan dan tidak memperhatikan lingkungan," katanya, Senin (8/12), dilansir dari detikJabar.
Kasus lainnya ada di Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang. Ada pengembang perumahan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana amanat Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mewajibkan pengembang menghibahkan 10 persen lahan untuk resapan air berupa polder, embung maupun danau retensi.
Kasus lainnya, pengembang yang meninggalkan proyeknya begitu saja tanpa menyerahkan fasilitas sosial dan fasilitas umum ke Pemkab Bandung.
"Saat terjadi banjir, secara aturan, kami tak bisa menangani banjir pada perumahan yang pengembangnya belum menyerahkan fasos dan fasum ke pemerintah daerah. Jika sudah diserahkan, menjadi bagian tanggungan APBD," ungkapnya.
Dalam waktu dekat, Dadang akan memanggil pengembang perumahan untuk mengevaluasi pemenuhan kewajibannya.
"Pemanggilan itu untuk mengevaluasi, sudah atau belum memenuhi kewajiban, terutama pengurangan risiko dampak lingkungan," katanya.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/das)










































