Konstruksi dan bangunan menjadi target baru di tengah gencatan senjata yang dilakukan Israel dan Lebanon. Meskipun gencatan senjata yang diperantarai oleh Amerika Serikat dan Prancis telah mendapatkan kesepakatan sejak 27 November 2024, wilayah selatan Lebanon belum benar-benar tenang.
Bukannya mereda, kini muncul pola penyerangan baru yang dilakukan oleh Israel terhadap Lebanon dengan menyasar ke sektor konstruksi. Sasaran tersebut meluas mulai dari bangunan, pekerja bangunan, hingga alat-alat berat di lokasi konstruksi.
"Meskipun ada gencatan senjata, Israel terus menyerang wilayah Lebanon hampir setiap hari. Serangan ini telah mengakibatkan meningkatnya jumlah korban jiwa dan luka-luka warga sipil, serta kerusakan dan kehancuran fasilitas umum, perumahan, lingkungan, dan zona pertanian yang vital bagi mata pencaharian warga sipil," kata para pakar dalam siaran pers Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dikutip, Senin (27/10/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serangan yang sebelumnya fokus pada militer, seolah membentuk strategi baru yang berbeda. Saat ini, rekonstruksi wilayah yang hancur justru menjadi medan perang baru. Serangan udara dan drone dilaporkan hampir terjadi setiap harinya.
Serangan Sistematis ke Proyek Pembangunan
Berdasarkan laporan The New Arab, salah satu kejadian yang paling mencolok adalah ketika sebuah pesawat tak berawak milik Israel, menembakkan tiga rudal ke sebuah ekskavator di antara distrik Sour dan Bint Jbeil. Insiden tersebut, menewaskan operator alat berat di lokasi.
Tak hanya sampai di situ, mesin berat seperti truk dan buldoser juga dihancurkan. Para pekerja mendapatkan ancaman langsung dari udara. Pada 2 Oktober, dua insinyur yang bekerja dengan perusahaan konstruksi juga tewas akibat serangan di daerah selatan.
Beberapa hari kemudian, serangan kembali terjadi di wilayah Deir Aames dan Yater yang menyebabkan dua orang tewas, termasuk seorang operator buldoser. Serangan tersebut juga memperparah kerusakan di area proyek konstruksi yang sebelumnya sudah terdampak konflik..
Pada 10-11 Oktober, serangan besar menghantam lokasi konstruksi di Masaleh. Peristiwa tersebut menghancurkan ratusan kendaraan proyek dan menyebabkan satu korban jiwa. Aktivis konstruksi Tarek Mazraani, pendiri asosiasi Majelis Penduduk Daerah Perbatasan Selatan, juga mendapatkan ancaman melalui siaran audio dari drone Israel karena mengadvokasi rekonstruksi wilayah perbatasan.
Rekonstruksi Terhenti, 80.000 Warga Tidak Bisa Pulang
Strategi yang dilakukan ini, memiliki tujuan yang jauh lebih besar dan berdampak. Rekonstruksi menjadi mustahil untuk dilakukan.
Israel secara sistematis menghancurkan lingkungan, menghentikan rekonstruksi, dan menciptakan kondisi yang membuat lebih dari 80.000 warga tidak bisa kembali ke rumah mereka di Lebanon selatan.
Dengan terhentinya rekonstruksi tersebut, mulai dari rumah tinggal, jalan, jaringan listrik, hingga ruang publik, kehidupan masyarakat seolah dibatasi. Aktivitas melambat, lingkungan sekitar menjadi sunyi, dan seluruh komunitas terasa seperti dihentikan di tengah ketidakpastian yang melingkupi konflik.
Dalam siaran pers PBB, juga dinyatakan bahwa serangan berulang Israel dan pendudukan sebagian wilayah di Lebanon telah membuat sekolah, pusat kesehatan, dan tempat ibadah menjadi tidak dapat diakses, sehingga mencegah dimulainya kembali kehidupan dan layanan penting terkait fasilitas umum bagi warga sipil.
Gedung-gedung yang rusak pun tidak dapat diperbaiki, material bangunan tidak dapat dipasok, dan perusahaan kontraktor enggan mengambil risiko kehilangan pekerja ataupun alat-alat properti berat.
Dampak yang Terjadi Karena Insiden Penyerangan Konstruksi dan Bangunan
- Proyek rekonstruksi tertunda tanpa batas waktu. Setiap upaya yang direncanakan untuk membangun kembali proyek-proyek yang telah tertunda di Lebanon, akan dianggap mengibarkan bendera perang terhadap Israel.
- Kontraktor, Insinyur, dan Tenaga Bangunan kini berada pada zona yang berisiko tinggi, menjadikan pekerjaan ini sebagai garis depan konflik apabila terus dilakukan.
- Mesin berat seperti ekskavator, crane, dan buldoser menjadi aset yang berbahaya, karena dapat menjadi sasaran sewaktu-waktu. Hal tersebut juga menurunkan nilai properti secara drastis karena tidak ada jaminan keamanan dan keberlanjutan.
Perubahan target konflik yang pada awalnya berfokus pada sasaran militer, kini beralih ke sektor konstruksi dan bangunan. Bukan hanya berbagai fasilitas penting yang hancur dari perubahan ini , tetapi juga sarana dan prasarana sipil yang seharusnya menjadi penopang utama bagi pemulihan kehidupan pasca-konflik menjadi rusak.
(das/das)










































