Kampung Tongkol merupakan satu dari sekian banyak permukiman padat penduduk di Jakarta. Bahkan, saking padatnya perkampungan ini membuat sinar matahari tak bisa tembus ke dalam rumah.
Sebagai informasi, Kampung Tongkol terletak di RT 07/RW 01, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Lokasi kampung ini persis di samping rel KRL Commuter Line rute Bekasi/Cikarang-Kampung Bandan.
Meski dijuluki sebagai kota metropolitan, tapi kenyataannya masih banyak permukiman padat penduduk seperti Kampung Tongkol di Jakarta. Apa sebabnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosiolog dari Universitas Padjadjaran Jannus TH Siahaan mengatakan penyebab banyaknya permukiman padat penduduk di Jakarta karena terjadinya urbanisasi besar-besaran. Sejak era Orde Baru, Jakarta menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, politik, dan budaya, sehingga menarik arus migrasi dari berbagai daerah.
"Mereka datang dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik agar mengalami mobilitas sosial, tetapi kapasitas kota, terutama penyediaan perumahan layak, tidak mampu mengimbangi," kata Jannus saat dihubungi detikcom, Jumat (26/9/2025).
Hal tersebut membuat banyak masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memilih membangun hunian semi permanen dengan memanfaatkan lahan yang ada, seperti di bantaran sungai dan pinggir rel kereta api.
Selain itu, mahalnya harga tanah dan rumah di Jakarta membuat sebagian orang memilih tinggal di permukiman padat penduduk. Sebab, harga kontrakan di kawasan tersebut jauh lebih murah, meski terkadang jauh dari kata layak huni.
"Lemahnya regulasi tata ruang, serta adanya jaringan sosial komunitas yang saling mendukung sehingga turut mendorong terbentuknya kantong-kantong permukiman padat," ujar Jannus.
Sementara itu, Pengamat Tata Kota Nirwono Yoga mengatakan aksesibilitas terhadap ketersediaan rumah susun (Rusun) masih belum diperoleh bagi sebagian MBR yang memiliki KTP Jakarta. Selain itu, hampir sebagian besar masyarakat pendatang dan tidak memiliki KTP Jakarta kesulitan memiliki tempat tinggal, sehingga memilih tinggal di permukiman padat.
"Pemerintah DKI didorong untuk menyediakan Rusunawa bagi masyarakat MBR ber-KTP DKI, agar mereka yang tinggal di permukiman padat dapat didorong untuk tinggal di Rusunawa tersebut," papar Yoga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Yoga menyarankan agar pemerintah membangun lebih banyak hunian vertikal. Jadi, warga yang tinggal di kampung padat penduduk bisa dipindahkan ke rusun, lalu kampung tersebut bisa direvitalisasi atau ditata ulang agar lebih bersih.
Untuk bisa mencapai hal tersebut, ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh pemerintah, yakni dengan mengecek regulasi status lahan dan peruntukannya. Lalu, memberikan solusi alternatif rencana penataan sesuai dengan peruntukan dan peraturannya.
"Bisa melakukan sosialisasi diskusi dan negosiasi kepada masyarakat tersebut, lalu memilih solusi yang akan diimplementasi," tutur Yoga.
Senada dengan Yoga, menurut Jannus pemerintah perlu mendorong program land sharing atau penataan kawasan berbasis komunitas, sehingga warga tidak digusur tapi juga dilibatkan dalam perencanaan hunian vertikal yang lebih layak.
Jannus menilai kebijakan rumah subsidi harus diperluas dengan pemberian insentif bagi pengembang agar bisa membangun affordable house di dekat pusat aktivitas ekonomi. Lalu, penguatan kapasitas komunitas seperti koperasi perumahan, pelatihan kerja, dan penyediaan fasilitas publik yang terjangkau juga penting agar warga memiliki daya tawar sosial ekonomi lebih tinggi.
"Terakhir, pengendalian urbanisasi melalui pemerataan pembangunan di luar Jakarta akan mengurangi tekanan migrasi yang berlebihan," jelasnya.
Jannus mengambil contoh kasus di Singapura. Sejak awal 1960-an, pemerintah sukses membentuk HDB (Housing and Development Board) sebagai lembaga khusus yang fokus membangun rumah susun bersubsidi. Kini, hampir 80% penduduk Singapura tinggal di flat HDB yang terintegrasi dengan fasilitas umum, transportasi, sekolah, dan ruang terbuka.
"Kuncinya adalah kombinasi kebijakan kepemilikan tanah oleh negara, subsidi besar-besaran, serta kewajiban pengembang mengikuti rencana tata ruang," pungkas Jannus.
(ilf/das)