Kelapa Gading hari ini dikenal sebagai salah satu kawasan elite dan paling berkembang di Jakarta. Tapi siapa sangka, kawasan yang kini dipenuhi pusat perbelanjaan, hunian mewah, dan fasilitas modern ini dulunya hanyalah lahan rawa tak produktif yang dianggap tak punya nilai.
Sosok di balik transformasi besar itu adalah Soetjipto Nagaria, tokoh properti yang dikenal sebagai founding father Kelapa Gading. Melalui tangan dinginnya, wilayah yang dulunya tak dilirik pengembang lain itu disulap menjadi kawasan prestisius yang jadi tolok ukur kawasan urban terencana.
Dilansir dari artikel jurnal yang ditulis oleh Evawani Ellisa dengan judul The Entrepreneurial City of Kelapa Gading, Jakarta yang diterbitkan dalam Journal of Urbanism: International Research on Placemaking and Urban Sustainability pada 2014, disebutkan Karier Soetjipto di dunia properti bermula bukan sebagai pengembang, melainkan sebagai spekulan tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melihat peluang lewat dua prinsip dasar yakni memiliki dana dan mampu membaca potensi kenaikan nilai tanah. Tapi insting bisnisnya berkembang jauh melampaui itu. Ia sadar, membeli untuk dijual kembali tak akan cukup. Maka pada tahun 1975, ia mendirikan PT Summarecon Agung Tbk, dan mulai terjun sebagai pengembang properti.
Tinggal di Cempaka Putih, yang tak jauh dari Kelapa Gading, membuatnya akrab dengan potensi wilayah sekitarnya. Ia mulai membeli lahan sedikit demi sedikit-hingga terkumpul 30 hektare lahan rawa. Saat pengembang lain sibuk mengejar lahan agrikultur untuk perumahan, Soetjipto justru mengambil jalur berbeda, menyasar rawa yang terbengkalai.
Pada era 1970-an, kawasan Kelapa Gading masih berupa rawa yang tak layak untuk pertanian maupun permukiman. Tapi Soetjipto melihat jauh ke depan. Ia memahami bahwa pengembangan kota sangat bergantung pada akses transportasi, dan melihat potensi besar saat sistem jalan raya Jabodetabek mulai direncanakan.
Walau butuh rekayasa besar dan biaya mahal, Summarecon akhirnya menimbun dan mengeringkan lahan tersebut. Visi Soetjipto tak sekadar menjual tanah, tapi membentuk lingkungan terintegrasi. Ia menyulap rawa itu menjadi jalan-jalan, kavling, dan memulai dengan membangun 30 rumah berukuran 5x18 meter. Tanpa pesaing di kawasan tersebut, seluruh unit ludes terjual.
Kesuksesan itu jadi tonggak. Jumlah rumah diperluas menjadi 300 unit, dan kawasan itu dikenal sebagai Kelapa Gading Permai.
Soetjipto tak ingin Kelapa Gading sekadar menjadi kawasan hunian. Ia menyusun master plan kawasan yang menyatukan rumah, sekolah, pasar, pusat kuliner, fasilitas olahraga, dan pusat perbelanjaan-konsep yang belum lazim kala itu.
Pada 1984, ia membangun Kelapa Gading Permai Sports Club (kini Klub Kelapa Gading), dan pada 1990, dibuka Mal Kelapa Gading Fase 1, yang menjadi pusat gaya hidup utama Jakarta Utara.
Kunci sukses Soetjipto Nagaria ada pada kemampuannya melihat jauh ke depan. Ia tak hanya melihat tanah sebagai aset, tapi sebagai kanvas untuk membentuk kota. Dengan pendekatan berbasis infrastruktur, kebutuhan masyarakat, dan tata ruang yang matang, ia menciptakan Kelapa Gading seperti yang kita kenal hari ini-bukan hanya sebagai tempat tinggal, tapi sebagai gaya hidup.
(das/das)