Siapa yang tidak tahu Menteng? Kawasan elit Jakarta ini dikenal sebagai area yang rumah-rumah gedong yang dimiliki pejabat maupun pengusaha.
Areanya yang tenang, adem, asri karena banyak pepohonan dan dikelilingi taman ini jadi favorit oleh orang-orang kalangan atas.
Kawasan ini memiliki sejarah panjang dalam pengembangannya. Area Menteng pada awalnya memang sengaja dibangun sebagai perumahan elit sejak era kolonial Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu berawal dari pemindahan pusat kota yang awalnya di Batavia (kini kawasan Kota Tua) ke bagian selatan yaitu Weltevreden (kini Lapangan Banteng). Pemindahan pusat kota itu tidak serta merta terjadi begitu saja, ada serangkaian kejadian yang akhirnya menyebabkan terjadi perpindahan.
Salah satu penyebab perpindahan pusat kota dari Batavia ke Weltevreden adalah adanya wabah penyakit.
Dilansir dari CNN Indonesia dalam artikel yang berjudulu Menteng: Sebuah Cerita soal Ujung Jakarta, disebutkan bahwa dalam buku yang berjudul Malaria in Batavia in The 18th Century yang ditulis oleh P.H. van der Burg, disebutkan bahwa kematian akibat penyakit di Batavia setelah tahun 1733 meningkat jadi 2.000-3.000 kematian per tahun. Salah satu penyebab kematian ribuan orang di Batavia kala itu karena penyakit malaria.
Berdasarkan catatan Dinas Kesehatan Pemerintah Kolonial Belanda, van der Burg malaria menjadi endemi akibat perkembangbiakan nyamuk yang masif di tambak-tambak ikan yang tersebar di pesisir utara Batavia.
Namun, perpindahan pusat kota itu tidak hanya terjadi karena wabah penyakit saja. Salah satu Tour Guide dari Jakarta Good Guide, Ilyas, mengatakan bahwa perpindahan pusat kota dari Batavia ke Weltevreden terjadi karena beberapa hal, seperti pendangkalan sungai akibat letusan Gunung Salak sekitar tahun 1699, adanya pembantaian etnis Tionghoa pada 1740, hingga bangkrutnya VOC pada era 1800-an yang akhirnya Kerajaan Belanda mengambil alih Batavia.
"Makanya sampai dijuluki sebagai Het Graf der Hollander. Artinya adalah kuburannya orang-orang Belanda karena mereka terkena wabah penyakit, akhirnya banyak yang mati sampai 1.800-an orang," kata Ilyas saat memandu tour kawasan Menteng pada Sabtu (31/5/2025) lalu.
Karena pusat kota dan pemerintahan pindah ke Weltevreden, pejabat pemerintahan pun ikut pindah ke sana. Untuk menunjang kehidupan para pejabat yang bekerja di Weltevreden, dibutuhkan sebuah perumahan.
Lanjut di halaman berikutnya untuk mengetahui asal usul tanah Menteng.
Asal Usul Tanah Menteng
Dihubungi terpisah, Sejarawan Asep Kambali menyebutkan bahwa pengembangan kawasan Menteng ditujukan untuk penyediaan hunian bagi para pejabat Belanda saat itu.
"Betul. Jadi Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan NV de Bouwploeg itu membutuhkan hunian untuk para pejabat. Jadi di situlah perumahan-perumahan yang memang sangat elit bagi mereka," katanya kepada detikcom, Rabu (28/5/2025) lalu.
Ia juga menjelaskan bahwa pada awalnya, area Menteng dulunya berupa hutan pada sekitar tahun 1600-an. Lalu mulai dihuni dan dibangun rumah-rumah pada 1700-1800-an. Karena adanya hunian di sana, tentunya ada tuan tanah yang memilikinya.
Dilansir dari buku karya Adolf Heuken yang berjudul Menteng 'Kota Taman' Pertama di Indonesia, disebutkan bahwa pada pertengahan abad ke-18 terdapat tuan tanah Menteng seorang 'Moor' (Arab) yaitu Assan Nina Daut (1755/62), kemudian dimiliki oleh Pieter J. du Chene de Vienne (1790) dan para ahli warisnya. Lalu pada awal 1815 tanah Menteng dipegang oleh Jakob P. Barends dan selanjutnya dimiliki oleh orang-orang Arab.
"Sekurang-kurangnya sejak pertengahan abad ke-19 'Tanah partikulir Menteng' dimiliki orang-orang Arab," tulis Adolf Heuken dalam buku tersebut.
Sebagian dari orang-orang Arab tersebut membeli tanah bukan untuk dijadikan tanah garapan, melainkan dijual lagi ketika harga naik. Sekurang-kurangnya sejak 1881-1910, Regeringsalmanak (Almanak van Nederlandsch IndiΓ« terbitan 1817, yang sejak tahun 1864 merupakan sumber tentang tanah-tanah partikulir) menyebutkan bahwa keluarga Shahab adalah tuan tanah dari Menteng.
Tanah-tanah di Menteng ditanami padi, rumput, dan pohon kelapa, termasuk tanaman Menteng. Kala itu, luas kawasan tersebut 295 Rijnlandsche roeden yang pada tahun 1942 ditaksir seluas 69 hektare. NV de Bouwploeg membeli tanah Menteng tersebut pada 1908 seharga 238.870 gulden.
Perumahan di Menteng tidak hanya dibangun di atas tanah partikulir Menteng saja, tetapi juga tanah partikulir Gondangdia. Pada 1869 tanah partikulir Gondangdia dimiliki oleh A. Hanking kemudian dimiliki oleh anaknya, A. Meijer hingga 1884. Pada 1890 dimiliki oleh Nyonya J.v.d Bergh yang kemudian dibeli oleh Bouw-en Cultuurmaatschappij Gondangdia pada 1910.
Kala itu, terdapat Komisi Pengawasan Pengurusan Tanah Menteng yang ditugaskan untuk merencanakan dan membangun Nieuw Gondangdia (kini Menteng). Salah satu anggotanya adalah PAJ Moojen yang merupakan pendiri real estat NV De Bouwploeg, perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengembangkan kawasan tersebut.
Pada 1910, PAJ Moojen mengajukan rancangan desain kota hunian Menteng dan akhirnya disetujui pemerintah kolonial Belanda pada 1912. Seiring berjalannya waktu, rancangan PAJ Moojen dianggap kurang praktis hingga akhirnya pemerintah kolonial Belanda menugaskan FJ Kubatz untuk menyempurnakan pekerjaan PAJ Moojen.
Pengembangan Menteng Sempat Melambat
Pada era penjajahan Jepang hingga 1949, pengembangan kawasan Menteng melambat. Tak banyak rumah-rumah besar dibangun di sana. Baru setelah 1950 pembangunan rumah-rumah besar kembali dilakukan.
Hingga akhir 1960, kawasan Menteng masih daerah permukiman yang tenang dan asri. Namun, pada awal 1970 mulai ada perubahan karena ramai dilewati lalu lintas.
Dalam bukunya, Adolf mengatakan bahwa kala itu pengatur lalu lintas Jakarta tidak mengindahkan kebutuhan para warga akan daerah permukiman yang bebas dari polusi udara, tanah, dan suara.
"Mereka sangat kurang melihat ke masa depan; dan setelah masa Gubernur Ali Sadikin, Kotapraja DKI Jakarta agak dilumpuhkan oleh penyakit korupsi yang kronis," tulisnya.
Akibat lalu lintas yang tinggi, banyak penduduk Menteng yang pindah ke daerah lain dan bisnis mulai masuk daerah tersebut. Hal itu lambat laun mengubah kawasan Menteng.
Belum lagi, banyak pendatang baru yang membongkar rumah lama dan menggantinya dengan gaya yang baru sehingga tidak serasi dengan gaya bangunan pada zaman Menteng dikembangkan menurut pertimbangan yang matang.
Walau demikian, hingga saat ini Menteng masih menjadi salah satu kawasan elit di Jakarta.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini