Industri hotel dan restoran di Jakarta tengah menjerit di awal 2025 karena okupansi menurun. Meski ada berbagai konser hingga libur panjang, tapi hal itu belum mampu mendongkrak industri hotel.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (PHRI DK Jakarta) khawatir tentang kondisi industri hotel dan restoran di Jakarta. Sebab, pada triwulan pertama 2025 tercatat adanya tren penurunan.
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dilakukan Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DK Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, tercatat 96,7% hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Hal itu berdampak pada banyak pelaku usaha yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan sekaligus menerapkan berbagai strategi efisiensi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurunnya okupansi hotel bikin banyak pengusaha mulai gigit jari karena pemasukan makin sedikit. Ditambah lagi biaya operasional yang makin membengkak, mulai dari tarif PDAM, gas, dan listrik yang terus naik.
Meski sudah beberapa kali pemerintah mengadakan libur panjang dan cuti bersama, tetapi kebijakan itu belum mampu mendongkrak bisnis hotel terutama di Jakarta. Sebab, rata-rata warga Jakarta lebih memilih keluar kota daripada staycation.
"Misalnya libur Idulfitri, itu kan peristiwa sekali setahun ya, kita tuh drop drastis. Itu kalau liburan Idulfitri pasti keluar (masyarakat) dari Jakarta, bukannya datang ke sini soalnya pada pulang kampung," kata Ketua BPD PHRI DK Jakarta, Sutrisno Iwantono dalam konferensi pers online bersama PHRI DK Jakarta, Senin (26/5/2025).
Iwantono menyarankan kepada pemerintah untuk lebih aktif mempromosikan objek-objek wisata yang menarik, khususnya di Jakarta. Dengan menerapkan wisata murah diprediksi dapat menarik minat masyarakat untuk berlibur. Hal ini tak hanya meningkatkan bisnis hotel, tapi juga perekonomian masyarakat di berbagai sektor.
"Bagaimana biayanya bisa murah? Itu semua sektor harus diperhatikan pemerintah, masing-masing menurunkan harganya dan memberikan diskon. Dengan demikian orang yang datang ke Jakarta semakin murah," jelasnya.
Selain long weekend, Jakarta juga menggelar berbagai konser internasional yang dapat menyedot wisatawan dari berbagai kota hingga negara. Hal ini dapat menambah cuan bagi pebisnis hotel. Namun kenyataannya, hotel yang ramai hanya di titik-titik tertentu saja yang dekat dari lokasi konser.
"Tapi hotel yang jauh seperti di Pulau Seribu, di timur, di barat, tentu kan tidak mendapatkan (pengunjung) itu. Konser-konser besar itu juga perlu diikuti dengan konser kecil, sehingga bisa tersebar di berbagai tempat dan tidak di tempat tertentu," ungkapnya.
Meski begitu, Iwantono menyebut jika turunnya okupansi hotel saat ini tidak separah saat pandemi COVID-19 pada 2020 lalu. Ia mengaku jika sudah ada peningkatan pasca pandemi, tapi adanya kebijakan pemerintah terhadap efisiensi ternyata turut berdampak pada industri hotel di Jakarta.
Diberitakan detikProperti sebelumnya, ada beberapa faktor utama yang memicu kondisi industri perhotelan semakin memburuk. Dari hasil survei oleh BPD PHRI DK Jakarta, sebanyak 66,7% responden menyebutkan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan. Hal ini dampak dari kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan sejumlah lembaga pemerintah.
Dengan kondisi yang semakin krisis, sebanyak 70% pemilik hotel yang disurvei BPD PHRI DK Jakarta menyatakan akan melakukan pengurangan jumlah karyawan. Responden memprediksi akan melakukan PHK karyawan sebanyak 10-30%. Selain itu, 90% responden melakukan pengurangan daily worker dan 37,7% responden akan melakukan pengurangan staf.
Jika terjadi penurunan okupansi hotel, hal ini tak hanya berdampak pada karyawan saja, tapi juga berefek pada sektor-sektor lainnya yang berhubungan dengan industri tersebut, seperti UMKM, petani, pemasok logistik, hingga pelaku seni-budaya.
"Jadi kalau bisnis hotel ini berdampak, maka imbasnya luas. Hotel itu punya kaitannya dengan para stakeholder dan pemasok, itu (mereka) pasti akan terdampak," pungkas Iwantono.
(ilf/das)