Pengembang real estat yang bermarkas di Bali, OXO Group, akan mengembangkan proyek visioner berkonsep wellness living, OXO The Pavilions. Proyek ini akan menggandeng arsitek internasional Chris Precht, pemilik Studio Precht yang berbasis di Austria.
Proyek OXO The Pavilions ditargetkan akan diluncurkan pada pertengahan 2025. Pendiri dan CEO OXO Group Johannes Weissenbaeck mengungkapkan pihaknya tidak hanya ini menciptakan hunian yang menguntungkan untuk investasi, tetapi juga dapat menampilkan properti yang lebih dari sekadar estetika dan dapat memenuhi gaya hidup work life balanc penghuninya.
"Kami tahu bahwa kami membutuhkan lebih dari sekadar arsitek. Kami membutuhkan kolaborator sejati. Misi kami adalah menciptakan ruang yang tidak hanya merupakan investasi yang sehat secara finansial, tetapi juga sangat personal dan inspiratif. Chris Precht mewakili generasi baru arsitek yang memahami bahwa desain harus melampaui estetika. Desain juga harus membentuk gaya hidup, komunitas, dan negara," katanya seperti yang dikutip dari keterangan tertulis, Senin (24/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya menggandeng Chris Precht dalam proyek ini adalah pihaknya ingin melibatkan orang dengan bakat-bakat yang menonjol dari mancanegara ke Bali, dengan tetap berakar kuat pada DNA alam dan budaya di Pulau Dewata tersebut.
Chris Precht merupakan salah satu sosok paling menarik di kancah arsitektur global. Studio Precht telah mendesain lebih dari 130 proyek, di mana 40 di antaranya telah dibangun. Studio Precht juga telah terlibat mengerjakan beragam proyek arsitektur di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Timur Tengah, Asia, dan sekarang di Bali, Indonesia.
"Pendekatan Precht berdasarkan pada integritas ekologis, keaslian budaya, dan kecerdasan teknologi. Kami percaya bangunan harus lebih dari sekadar aset, karena bangunan harus menunjang kehidupan, sehat, dan regeneratif," ungkap Chris Precht.
Konsep yang akan dirancang oleh Chris Precht sesuai dengan misi OXO Group Indonesia yang ingin membangun konstruksi bangunan berkualitas tinggi, namun berdampak rendah terhadap alam. Oleh karena itu, proyek ini mengangkat arsitektur yang mempertimbangkan 3 hal yakni tanah, budaya, dan masa depan.
"Chris mendesain untuk dunia yang ingin kita tinggali. Timnya bekerja dengan kecepatan, fleksibilitas, dan kecerdasan yang dibutuhkan untuk berkembang dalam lanskap masa kini," Weissenbaeck menambahkan. "Dari alur kerja yang digerakkan oleh AI (artificial intelligence) hingga proses desain dan pengembangan kolaboratif, pendekatan yang mereka lakukan serupa dengan apa yang kami kerjakan."
Chris Precth menambahkan arsitektur harus mengekspresikan tempat dan waktunya sendiri. Di Bali, hal itu berarti mendesain untuk mengekspresikan cahaya, hujan, ritual, alamdan generasi yang mencari tujuan hidup dan aspek lainnya.
"Sekarang waktunya menciptakan bangunan fleksibel dan adaptif yang mencerminkan cara hidup manusia yang sebenarnya," ujar Chris.
(aqi/zlf)