Rumah tapak atau landed houses merupakan jenis hunian yang dari tahun ke tahun menunjukkan prospek penjualan yang bagus daripada hunian vertikal. Namun, di balik itu ternyata ada tantangan besar yang berdampak pada penurunan penjualan di 2025.
CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan saat ini banyak masyarakat menahan untuk membeli rumah tapak. Baik itu pembeli kelas atas, menengah, hingga bawah.
Hal ini dikarenakan permasalahan ekonomi di dalam negeri dan global. Kemudian tingginya gelombang PHK yang berdampak pada tingkat ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan daya beli mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu bukan menengah bawah aja, menengah atas pun mulai jenuh. Jadi mereka itu bukan nggak bisa beli. Uangnya ada, tapi udah jenuh. Sejak 2021-2023 itu banyak pengembang-pengembang atas yang memang udah kebanyakan investasi. Laku, tapi lama-lama (penjualan) mereka menurun sehingga (stok) terbatas. Bukan nggak ada debit, mereka menahan aja. Atas lambat, bawah juga lambat karena daya beli," kata Ali saat ditemui di Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (7/3/2025).
Lebih lanjut, ia merasa kebijakan pemerintah yang saat ini tidak jelas juga berpengaruh pada perlambatan penjualan rumah tapak.
"Kita nggak mau terlalu lama lah ya (penurunan penjualan rumah tapak), semester satu sepertinya ini akan melambat, bahkan menurun. Mudah-mudahan ini tidak begini sampai semester dua (H2)," ujarnya.
CEO Triniti Land, Ishak Chandra, juga memberikan pandangan yang mirip. Ia merasa daya beli masyarakat menengah ke bawah berpengaruh pada penjualan properti. Namun, ia menegaskan meskipun sektor properti sedang menurun tetapi itu tidak akan berdampak pada semua subsektor.
"Saya selalu bilang, properti industri lagi turun, bukan berarti subsektor lain turun juga. Jadi subsektor tertentu masih tetap bertahan atau malah naik," kata Ishak di tempat yang sama.
Lebih lanjut, ia menjelaskan penurunan daya beli ini membuat banyak masyarakat tidak dapat membeli rumah. Bahkan dengan nilai kredit yang kecil sekalipun jika kemampuan ekonomi masyarakat tidak menyanggupi, maka pembelian tidak dapat terjadi.
Ishak memberikan contoh lewat Program 3 Juta Rumah yang dinilainya bagus. Ia mengatakan program ini dapat berjalan apabila tidak hanya mengandalkan APBN karena jumlahnya terbatas. Jika pemerintah mendapat dana dari luar seperti investasi, maka hasil penjualan rumah tersebut dapat berdampak positif.
"Karena mereka rencana mau jual ya, bukan gratis, mereka rencana mau jual. Ketika mereka jualnya tepat, pada orang yang tepat, jangan sampai yang beli itu investor. Saya rasa itu akan punya efek," ujarnya.
Untuk mengatasi masalah daya beli masyarakat, ia merasa perlu ada skema baru seperti pemberian insentif baik dari pemerintah dan perbankan. Apabila skema, sasaran, dan produk yang ditawarkan sesuai dengan pasar, maka pasar properti dapat bergerak positif.
"Karena mereka dikasih murah pun, nggak sanggup. Treatment-nya harus beda. Nah itu yang saya belum lihat dari pemerintah, arahnya ke sana. Tapi ketika bilang, gua mau bikin rumah gratis, yang lain pada nggak mau. Jadi serba salah, saya nggak ngerti dilemanya," ucap Ishak.
(aqi/abr)