Warga Kelurahan Cipayung dan Pasir Putih di Depok dipisahkan Kali Pesanggrahan. Sayangnya kini, banjir merendam area di sekitar bantaran kali dan tidak kunjung surut sampai saat ini. Adanya 'banjir abadi' di perbatasan 2 kelurahan ini bikin akses jalan tertutup dan warganya terancam kena begal.
Sebelum ada 'banjir abadi', warga kedua kelurahan mengandalkan jembatan di atas Kali Pesanggrahan sebagai jalan utama karena lebih dekat layaknya memotong jalan. Namun, jembatan tersebut kini sudah tertutup air dan tidak ada motor yang berani melintas karena banyak lumpur dan sampah.
Alhasil warga harus memutar terutama yang ingin pergi ke Kelurahan Pasir Putih melalui 2 jalan yakni Gang Alif dan Tanah Merah. Akses jalan alternatif ini sama-sama memutar dan bisa memakan waktu hingga 1 jam karena banyak melewati gang kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain jalannya harus memutar, menurut salah satu warga Kelurahan Pasir Putih, Udin Kaget, akses jalan alternatif tersebut rawan begal saat malam hari. Dia sering khawatir setiap istrinya menjemput anaknya pada malam hari.
"Semoga bisa dilewati seperti dulu. Biar orang nggak muter-muter. Kalau jemput lewat Tanah Merah kan kejadian mulu begal. Kalau jemput anak saya ke stasiun, takut juga," kata Udin saat ditemui detikProperti pada Selasa (14/5/2024) lalu.
"Sebenarnya bukan saya saja. Semua, warga-warga yang nggak kena (banjir). Soalnya itu jalan alternatif. Semua orang nanya ke saya, 'Gimana?' yah gimana, saya juga nggak tahu," lanjutnya.
Udin tidak bisa pindah rumah karena dia salah satu korban 'banjir abadi' di Depok yang masih menunggu air surut. Rumahnya berdiri di pinggir bantaran Kali Pesanggrahan. Sejak luapan Kali Pesanggrahan pada akhir 2023 lalu, keluarga Udin sempat mengungsi ke rumah mertuanya. Kemudian pada Maret 2024, dia mulai mengontrak tidak jauh dari rumahnya yang terdampak 'banjir abadi'.
"Udahlah ngontrak, ngontrak biar anak belajar tenang, pulang sekolah enak. (Dulu) Kalau jam 12 suka saya bangunin, banjir. Makanya daripada ijazah, rapot basah semua," ujarnya.
Sebelum rumahnya terdampak banjir, Udin dan keluarga sempat tinggal di kelurahan lain jauh dari Kali Pesanggrahan. Namun, dia memutuskan pindah ke bantaran Kali Pesanggrahan karena terdesak kebutuhan ekonomi. Pada saat pindah, dia sudah tahu konsekuensi banjir, maka dari itu rumahnya dibuat lebih tinggi dari jalan sekitar 3 meter. Namun, itu tidak cukup untuk menahan air untuk tidak masuk ke rumahnya.
"Bukan pindahan sih, saya asli sini tetapi pindah ke bawah. Satu keluarga sama abang, itu 3 (rumah) keluarga saya semua. Kiri abang, tengah saya, terus yang terakhir ponakan," jelas pria yang bekerja sebagai Dinas Kebersihan DLHK Kota Depok.
Kini, dia masih menunggu solusi dari Pemkot Depok terkait 'banjir abadi' agar jembatan Kali Pesanggrahan bisa kembali dilewati. Sementara itu, Pemkot Depok pada akhir Juni lalu baru saja mendata lahan dan rumah yang terdampak 'banjir abadi' di Kelurahan Cipayung. Sementara Kelurahan Pasir Putih, tempat rumah Udin berada belum masuk dalam pendataan tersebut.
"Kemarin udah disurvei dari pihak pemkot mau bebasin semua lahan di situ, karena kan warga merasa dirugikan, lahan nggak bisa diolah, rumah ditinggalin nggak bisa ditempatin," ungkap Ketua RT 04, RW 08, Bulak Barat, Cipayung Depok, Naseri di Bulak Barat, Cipayung, Depok, Minggu (30/6/2024) seperti yang dikutip dari detikNews.
(aqi/dna)