Banyak orang yang merasa harga rumah sekarang makin mahal, terutama di Jakarta. Ternyata tidak hanya di Jakarta, tapi rata-rata harga rumah di Indonesia memang tergolong sangat mahal.
Hal ini dibuktikan dengan hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang menyajikan harga rata-rata rumah di Indonesia sangat mahal.
Laporan yang berjudul "Ribut Soal Tapera: Kebijakan "Harga Mati" untuk Turunkan Angka Kekurangan Perumahan Nasional?" ini secara khusus ditulis oleh tim peneliti LPEM FEB UI, yakni Yusuf Sofiyandi Simbolon, Yusuf Reza Kurniawan, Nauli A. Desdiani, dan Firli W. Wahyuputri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan tersebut, bisa dilihat dalam tabel Rata-rata Perbandingan Harga Rumah dengan Total Pendapatan Pertahun, kota dengan harga rumah tertinggi di Indonesia adalah kota Medan.
Rata-rata harga rumah di Medan setara dengan 23,5 kali rata-rata pendapatan tahunan. Posisi kedua disusul Surabaya dengan harga rata-rata rumah sebesar 21,33 kali gaji, Batam dengan 20,94 kali gaji, dan Makassar dengan 19,78 kali gaji.
Baca juga: Buruh Minta Tapera Dicabut, Ini Alasannya |
Untuk Jakarta sendiri berada di posisi ke-5 dengan harga rata-rata rumah setara dengan 19,76 kali, Denpasar 16,9 kali, Tangerang 15,77 kali, dan Bogor 15,56 kali rata-rata pendapatan tahunan. Sedangkan, harga rumah termurah dipegang oleh Malang seharga 11,91 kali gaji.
Dengan adanya hasil riset ini, kita harus menelahn kenyataan pahit bahwa tingginya angka backlog di Indonesia bukan hanya karena pengembang enggan membangun banyak rumah murah bagi masyarakat menengah dan bawah, melainkan juga disebabkan harga lahan yang tinggi, biaya konstruksi yang meningkat, dan kebijakan pembiayaan yang belum optimal.
Angka backlog di Indonesia sendiri masih sangat tinggi. Pada 2023 angkanya justru naik mencapai 12,7 juta unit rumah, dari yang sebelumnya 11,6 juta di tahun 2022.
"Untuk rumah tapak, misalnya, terdapat kendala berupa mahalnya harga lahan yang pada akhirnya menyebabkan harga jual rumah menjadi semakin mahal. Sementara itu, jika developer membangun hunian vertikal atau rumah susun (rusun) untuk kalangan menengah atau menengah bawah, margin keuntungan yang diperoleh dinilai relatif tidak sepadan dengan risiko bisnisnya."
Tim peneliti LPEM FEB UI menekankan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, negara bertanggung jawab menyediakan dan mempermudah akses perumahan. Pembangunan infrastruktur, termasuk penyediaan perumahan yang layak, aman, dan terjangkau adalah kewajiban pemerintah.
Menurut mereka, sebenarnya pemerintah telah meluncurkan program-program seperti Program 1 Juta Rumah dan subsidi perumahan serta Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, kebijakan-kebijakan ini nyatanya memang belum efektif mengatasi backlog perumahan.
"Namun, faktanya kombinasi dari seluruh program tersebut dinilai belum cukup untuk menekan angka backlog perumahan nasional yang masih signifikan," tegas tim peneliti LPEM FEB UI.
(dna/dna)