Gelombang kritik keras menghujam kebijakan terbaru pemerintah yang bakal memotong gaji pekerja sebesar 3% untuk simpanan wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dimana, dari 3% potongan wajib itu, 2,5% ditanggung peserta atau pekerja, sementara 0,5% sisanya dibebankan ke pemberi kerja atau ke perusahaan.
Gara-gara aturan baru tersebut, banyak pihak yang bertubi-tubi melontarkan kritik dan keberatannya.
Penolakan Serikat Pekerja
Pertama, tak lain datang dari kalangan serikat pekerja. Presiden Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (DPP ASPEK Indonesia), Mirah Sumirat mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah karena menerbitkan kebijakan yang mempengaruhi penghasilan kaum pekerja tanpa melibatkan pekerja itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ungkapan kekecewaan itu dilontarkan Mirah untuk merespons pernyataan pemerintah yang berencana menerapkan potongan gaji pekerja untuk simpanan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
"Persoalannya adalah, ketika sudah semakin terpuruk ekonomi ini karena upahnya murah, inflasi tinggi, kemudian harga pangan juga tinggi. Nah satu sisi pembuatan PP tersebut (terkait gaji dipotong Tapera) juga tidak pernah melibatkan partisipasi stakeholder yang terkait, dalam hal ini pekerja buruh jadi kita tidak tahu menahu seperti apa bentuknya? Artinya ini bim salabim langsung jadi," tutur dia saat berbincang dengan detikcom via sambungan telpon, Selasa (28/5/2024).
Penolakan Buruh Jateng
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Jawa Tengah, Nanang Setyono menyatakan keberatan jika gaji buruh masih harus disisihkan untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Dia bilang gaji buruh saat ini masih rendah dan rata-rata kenaikannya hanya 4-5 persen per tahun.
"Kami keberatan karena, khususnya berbicara di Jawa Tengah, rata-rata upah hanya Rp 2 juta, nah itu kalau sudah dipotong BPJS kemudian sekarang dipotong lagi Tapera sebesar 2,5 persen, nah tentunya kami sangat keberatan," kata Nanang saat dihubungi detikJateng kemarin.
"Apalagi kalau melihat aturan pengupahan yang kemungkinan besar rata-rata naik sekitar 4-5 persen, kalau kemudian setiap bulan ada potongan ya sama aja upah buruh ke depan nggak pernah naik," imbuh dia.
Penolakan Pengusaha
Bukan hanya pekerja yang menolak. Para pelaku usaha juga melontarkan keberatannya.
Maklum saja, dalam aturan teranyar pemerintah, disebutkan, dari 3% potongan untuk simpanan tapera, sebesar 0,5%-nya akan ditanggung pemberi kerja atau perusahaan. Artinya, akan ada pengeluaran tambahan yang harus ditanggung para pelaku usaha untuk memenuhi rencana tersebut.
Bahkan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) lewat keterangan resminya menyatakan penolakan dengan tegas kebijakan pemerintah yang mewajibkan potongan gaji pekerja sebesar 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) itu.
Menurut APINDO, kebijakan tersebut bakal sangat memberatkan berbagai pihak baik pekerja itu sendiri maupun pelaku usaha.
"Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang 'Tabungan Perumahan Rakyat' APINDO dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut. APINDO telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera. Sejalan dengan APINDO, Serikat Buruh/Pekerja juga menolak pemberlakukan program Tapera. Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh," kata Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani, dalam keterangan resminya.
Usul Ekonom Jangan Dipaksa
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menilai kebijakan ini bermanfaat bagi yang belum mempunyai rumah. Skema potong gaji bisa membuat peserta lebih disiplin menabung untuk membeli rumah.
"Bagi yang belum punya rumah akan sangat positif, jadi mereka menabung menyisihkan uangnya untuk memang bisa mencicil rumah, bisa memiliki rumah di kemudian hari," ujar Tauhid kepada detikcom, Selasa (28/4/2024).
Mengingat rumah merupakan investasi jangka panjang, sehingga para peserta menunda konsumsi saat ini untuk kepentingan jangka panjang. Menurut Tauhid, hal ini akan membantu mereka di kemudian hari, apalagi dengan bantuan pembiayaan melalui skema KPR.
Namun, ia menyebut kebijakan tabungan perumahan rakyat tersebut sebaiknya dijadikan program opsional saja agar lebih tepat sasaran. Terutama kepada yang belum memiliki rumah serta berkeinginan membeli rumah.
"Ini nggak boleh dipaksa, jadi sifatnya opsional. Tapera ini kan diperuntukan bagi masyarakat yang katakanlah belum memiliki rumah. Kalau misalnya sudah punya rumah dan sebagainya sifatnya opsional saja, jadi nggak perlu dibebani. Karena buat apa? Terutama rumah pertama," katanya.
(dna/dna)