Dengan adanya peningkatan target tersebut, Direktur Utama BTN Nixon Napitulu mengungkap perlu ada skema baru dalam pemberian subsidi perumahan agar target yang dicanangkan bisa benar-benar terwujud.
Beberapa yang ia usulkan adalah mengubah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) menjadi dana abadi. Lalu, tenor KPR diperpanjang 30-35 tahun dengan masa subsidi yang dikurangi menjadi 10 tahun.
"Kalau tadinya 20 tahun masa subsidi jadi 10 tahun, otomatis subsidinya bisa dikasih ke yang lain lagi, jadi dua kali lipat. Jadi yang menerima kalau tadinya cuma 300 ribu (orang), bisa 600 ribu orang," kata Nixon dalam acara 74th btn Anniversary Festival 2024 di Indonesia Arena Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Minggu (3/3/2024) lalu.
Terpisah, Direktur Investasi PT Global Asset Management, Steve Sudijanto menilai, memang pemerintah tak bisa hanya bertumpu pada skema lama penyediaan perumahan. Dibutuhkan terobosan agar program yang dicanangkan bisa dilaksanakan dan masyarakat penerima manfaat bisa lebih banyak.
Usulan BTN untuk mempersingkat masa subsidi dan memperpanjang jangka pinjaman, sambung dia, dipandang bisa jadi solusi terbaik untuk menyediakan hunian bagi masyarakat.
"Jadi lebih banyak volume dari konsumen yang bisa dijangkau. Itu dari sisi pemerintah. Dan usulan BTN saya setuju. Yang kedua, daya beli masyarakat ini kan sekarang rentan," ujar Steve kepada detikcom, belum lama ini.
Menurutnya, memangkas masa subsidi menjadi 10 tahun dan memperpanjang tenor bisa membantu untuk menjaring lebih banyak masyarakat penerima manfaat.
"Berarti kan bisa lebih banyak konsumen yang logikanya kan angkanya subsidinya diperpendek dari 20 (tahun) menjadi 10 (tahun). Tapi cicilan, masa cicilan diperpanjang artinya itu kan cicilan tetap murah gitu konteksnya dari BTN itu," papar Steve.
"Dan kedua, dengan diperpendeknya masa subsidi yang 20 tahun menjadi 10 tahun. Konteksnya itu artinya tujuan utamanya dari satu juta orang menjadi dua juta orang. Ya logikanya sih mudah-mudahan bisa tergantung dari niat pemerintah," lanjutnya.
Namun, Steve menyebut, ada dua faktor yang perlu diwaspadai, yaitu kepastian bunga KPR setelah masa subsidi usai dan harga rumah yang ditawarkan oleh developer yang sebenarnya tergantung pada kondisi pasar yang tidak dapat dikendalikan.
"Yang menjadi pertanyaan saya apakah dari tahun ke-11 sampai tahun ke-30 atau ke-35 bunga KPR akan stabil alias fix. Jadi ada kepastian cicilan itu tidak ada lonjakan. Paling tidak deviasinya itu tidak terlalu menggerogoti kehidupan para konsumen ini untuk bisa membiaya hal yang lain," tuturnya.
"Kemudian yang berikutnya harga rumah dari penyedia, yaitu developer apakah bisa mendapatkan satu komponen dari rumah subsidi itu yang paling utama apa sih? Harga tanah dan juga harga bangunan. Dua itu. Kalau izin itu bisa diberikan oleh pemerintah," lanjutnya.
Ia pun menekankan perlunya mempertimbangkan kesanggupan masyarakat untuk menuntaskan cicilan setelah masa subsidi itu berakhir. Terlebih masyarakat juga memiliki kebutuhan dan pengeluaran lainnya.
Fasilitas Perumahan
Lebih lanjut, Steve berpesan agar para penerima subsidi tidak dibuat lelah untuk membayar cicilan yang terlalu berat dan fasilitas yang kurang memadai. Misalnya membangun rumah subsidi di daerah yang sulit transportasi umum, sehingga menghambat masyarakat untuk bekerja dan menyisihkan uang untuk cicilan.
"Kalau kita lihat di negara maju, di negara barat, di Australia, di Eropa, di Amerika, daerah-daerah suburb itu ada rumah-rumah kompleks, rumah subsidi, tetapi juga ada fasilitas transportasi umum," katanya.
Selain menyediakan rumah, pemerintah perlu mempertimbangkan fasilitas untuk menunjang aktivitas masyarakat dengan menyediakan ekosistem transportasi umum yang baik. Lalu, ia mencontohkan negara maju seperti Singapura dan Amerika yang mampu menawarkan rumah KPR yang terjangkau.
"Semuanya itu yang saya sebut bentuknya apartemen yang dikelola oleh pemerintah. Nah, itu memang fasilitasnya dan lokasinya nggak luxury lah, seperti apartemen swasta gitu ya. Tapi itu yang bisa dilakukan pemerintah. Membangun dengan harga terjangkau lah istilahnya dan bisa dinikmati oleh masyarakat yang kurang mampu," papar Steve.
Ia menyarankan agar pemerintah membangun rumah subsidi di daerah-daerah yang prima di pinggiran, bukan di tengah kota, serta difasilitasi ekosistem perumahan yang memadai karena berkesinambungan dengan produktivitas penikmat subsidi.
"Perlu dipikirkan ekosistem dari rumahan itu yang baik. Ada sekolah, rumah ibadah, tempat belanja, tempat beraktivitas yang baik dan juga ekosistem transportasi yang baik. Yaitu apa? Transportasi umum supaya mereka itu nggak bingung gimana mereka berangkat kerja," pungkasnya. (zlf/zlf)