Di era modern yang serba cepat ini, gaya hidup perkotaan atau urban life-style menjadi pilihan banyak orang terutama bagi generasi muda dan para pekerja di kota.
Salah satu aspek penting dari gaya hidup ini adalah hunian atau tempat tinggal. Akan tetapi, menurut analis properti, Anton Sitorus, di Indonesia sendiri masih banyak orang, baik generasi muda atau pekerja yang memilih untuk tinggal di rumah tapak.
Mereka cenderung memprioritaskan untuk membeli rumah tapak di pinggiran kota dan bekerja di dalam kota.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini berbeda dengan yang ada di negara-negara maju seperti Amerika dan Singapura, dimana orang-orangnya cenderung memilih hunian vertikal, seperti apartemen yang berada di dalam kota.
"Kalau di negara-negara maju huniannya cenderung vertikal, apartemen. Tapi kalau di Indonesia, saya pikir masih banyak yang pilih rumah tapak. Tapi ada juga yang berpikiran sudah maju dan memilih tinggal di apartemen, tapi jumlah orang yang memilih tinggal di apartemen belum terlalu banyak. Tidak seperti di negara-negara yang ekonominya sudah maju," kata Anton saat berbincang dengan detikcom lewat sambungan telepon, Rabu (20/3/2024).
Namun, gaya hidup generasi muda yang cenderung urban life-style membuat mereka suka tinggal di dalam kota dan memilih tinggal di apartemen. Hal ini dikarenakan harga rumah yang tinggi di perkotaan seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Anton juga mengatakan dari segi perencanaan kota, sebenarnya kota-kota besar di Indonesia lebih ideal dengan bentuk hunian vertikal atau apartemen.
"Kota-kota besar di Indonesia dari segi perencanaan kota yang lebih ideal sebenarnya adalah rumah vertikal, apartemen. Karena kalau rumah tapak itu bikin kotanya jadi melebar dan terjadi yang namanya urban sprawl. Terjadi aglomerasi sehingga tidak begitu bagus untuk perkotaan," kata Anton menjelaskan.
Selain itu, Anton lebih lanjut menjelaskan kota yang semakin lebar juga akan menyebabkan kota menjadi tidak efisien. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya orang yang tinggal di pinggir kota dan bekerja di dalam kota sehingga terjadi commuter. Inilah yang menyebabkan adanya kemacetan yang tinggi di kota-kota besar seperti Jakarta, di pagi dan sore hari.
"Masalah kemacetan dan konsumsi bahan bakar tinggi yang ujungnya ke masalah lingkungan ini sudah terjadi di Amerika tahun 60-70 an. Makanya dari ilmu perkotaan karena belajar dari negara barat, muncul perencanaan kota yang lebih compact. Kotanya tidak dibuat melebar, tapi dijadikan di satu tempat di dalam kota," ungkapnya.
Belajar dari negara maju seperti Amerika, generasi muda dan para pekerja disarankan untuk tinggal di hunian dengan konsep one-stop place untuk mengurangi kemacetan dan menjadikan kota lebih efisien dan ramah lingkungan. Anton juga mengatakan bahwa hunian vertikal dengan konsep to live, to work, to play dan konsep one-stop place adalah konsep hunian yang paling cocok untuk kota di Indonesia.
"Kedepannya, hunian vertikal akan lebih diperlukan untuk kota-kota besar di Indonesia," tutup Anton.
(dna/dna)