Calon presiden (Capres) nomor urut 2, Prabowo Subianto berjanji akan membangun 3 juta rumah apabila dia berhasil terpilih dalam Pemilu 2024 nanti.
Sebaran 3 juta rumah tersebut meliputi 1 juta di perkotaan, 1 juta di pedesaan, dan 1 juta di pesisir.
"Saudara-saudara, kita akan membangun tiga juta rumah untuk mereka yang belum punya rumah. Satu juta di pedesaan, satu juta di pesisir, satu juta di perkotaan," kata Prabowo dalam debat capres terakhir yang digelar di Jakarta Convention Center, pada Minggu (4/2/2024) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi janji Prabowo tersebut, pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengatakan jumlah 3 juta rumah tersebut terlalu fantastis apabila melihat realisasi milik Presiden Joko Widodo dalam Program Sejuta Rumah yang ternyata tidak sesuai dengan target.
"Kita harus belajar dari kebijakan-kebijakan rumah sebelumnya. Target sejuta rumah ternyata hanya terjangkau 200.000 (rumah)," kata Yayat saat dihubungi detikProperti pada Senin (5/2/2024).
"Kalau mau bangun 3 juta (rumah) harus jelas itu. Tiga juta atau satu juta itu yang bagaimana konsepnya? Di mana (lokasinya)?" tambahnya.
Yayat mengatakan apabila bentuknya adalah rumah sewa, pembangunan 3 juta rumah itu memungkinkan. Namun untuk realisasi rumah tapak atau landed house itu akan menjadi pekerjaan besar untuk pemerintah.
"Rumah itu konsepnya rumah susun atau landed? Itu yang harus diperhatikan agar tidak mengulangi kegagalan (Program Sejuta Rumah)," ujar Yayat.
Namun pembangunan rumah susun (rusun) juga memiliki risiko yakni rendahnya daya beli hunian tersebut meski dapat menyediakan unit rumah yang banyak. Fenomena ini juga terjadi pada bisnis apartemen.
Salah satu cara untuk meningkatkan daya beli rusun adalah menentukan target penghuni rusun itu dibangun. Misalnya rusun tersebut dibuat sebagai tempat tinggal pengganti warga yang rumah tapaknya digusur karena pembangunan infrastruktur atau tempat tinggal pekerja industri.
"Jadi harus dikaitkan karena di situ ada gulanya (penarik), kawasan-kawasan yang memiliki daya tarik," jelasnya.
Dengan mengetahui rumah yang akan dibangun ini, dia yakni pemenuhan backlog di Indonesia akan terwujud nantinya.
"Rumah itu harus liat backlog. Angka backlognya berapa antara jumlah yang berkeluarga dengan pekerjaan. Jadi dia harus jelas dulu konsepnya gimana dan dimana dia dibangun? Berapa target pertahunnya? Dia harus disebar diseluruh Indonesia dan lokasi mana yang bisa dibangun?" ungkapnya.
Selain itu, proses perizinan dalam penyediaan tanah juga perlu disiapkan melalui kebijakan-kebijakan yang melindungi dan mengatur mengenai program 3 juta rumah tersebut.
"Karena bukan pemerintah yang bangun. Jadi tanah itu dipertanyakan? Ada nggak kebijakan-kebijakan yang mudah untuk mendapatkan dalam penyediaan tanah. Boleh menggunakan tanah-tanah aset BUMN, aset pemerintah, atau Perkebunan. Apakah ada kontribusi dari penguasa tanah dari program sertifikat tanah yang diberikan pemerintah," sebut Yayat.
Di akhir, Yayat mengatakan mungkin saja terjadi revisi terkait jumlah rumah yang akan dibangun. Sebab menurutnya tim angka 3 juta rumah ini memasang target yang terlalu besar tanpa memperhatikan kekurangan Program Sejuta Rumah milik Jokowi yang dinilainya tidak mencapai target.
"Jadi sebelum menentukan angka seharusnya mengevaluasi kekurangan sebelumnya. Sehingga dari program ini bisa memasang target yang lebih besar. Paling nanti kalau janji tidak terpenuhi akan direvisi," katanya.
(zlf/zlf)