Beberapa hari lalu ramai di TikTok soal seorang korban pembelian rumah berbasis syariah di Bogor, Jawa Barat. Meski sudah akad dan membayar cicilan, rumah yang dibelinya tak kunjung ada.
Hal ini diungkapkan oleh akun TikTok @kurniasalim24 beberapa hari yang lalu. Video tersebut sudah ditonton 2,7 kali, disukai lebih dari 30 ribu kali, ada lebih dari 2.900 komentar, dan lebih dari 1.000 kali dibagikan. Dalam video yang diunggah akun TikTok itu disebutkan bahwa perumahan tersebut menggunakan konsep syariah. Adapun, rumah tersebut terletak di GMV, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
"Perumahan berkedok syariah terbengkalai," tulis akun @kurniasalim24, dikutip detikcom, Kamis (7/12/2023). Sebagai informasi, detikcom sudah mendapat izin untuk mengutip video tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikProperti sudah merangkum beberapa fakta terkait kejadian tersebut. Berikut ini faktanya.
1. Sudah Mencicil Rumah, Namun Tak Kunjung Jadi
Salah satu korban yang membeli rumah di perumahan itu, sebut saja Salim, mengaku sudah membayar DP rumah dengan cara mencicil selama 12 bulan pada 2019, lalu pada 2020 sudah mulai mencicil angsuran rumah selama 8 bulan sehingga ia sudah mencicil selama 20 bulan.
Ia dijanjikan 15 bulan setelah akad pembelian akan dilakukan serah terima kunci. Namun, hingga saat ini ia tak menerima rumah yang sudah dicicilnya.
Pada awalnya ia mendapatkan informasi dari saudaranya terkait perumahan syariah. Ia dan saudaranya sama-sama mengambil rumah tersebut karena tertarik.
"Pas datang ke sana, lihat brosurnya, memang kantor marketing sudah ada, jalan utamanya sudah ada, cuman jalan yang di kompleknya itu lagi dibuat, jadi jatuhnya kayak inden gitu. Yaudah, akhirnya saya minat. Syaratnya juga dulu cuma KTP sama KK, nggak ada survei bank segala macam," tuturnya kepada detikProperti, ditulis Kamis (7/12/2023).
Kala itu, ia hanya membayar booking fee sebesar Rp 500.000, apabila cocok dengan rumahnya dan melakukan akad pembelian, ia dijanjikan akan serah terima kunci setelah 15 bulan. Ia pun segera melakukan akad dan mulai membayar angsuran DP sejak Januari 2019 hingga Desember 2019. Adapun, DP yang harus dibayarkan sebesar Rp 30 juta.
Salim membeli rumah tipe 30/60 dengan harga sekitar Rp 197.500.200. Ia pun membayar cicilan sekitar Rp 997.025 per bulan.
"Setelah DP setahun, masuk bulan ke-15, saya ke sana lagi mau lihat progresnya. Ternyata pas saya sesuaikan dengan site-plannya itu jalan di gang-nya saja belum jadi buat ke blok saya. Jadi rumahnya benar-benar belum jadi sama sekali setelah 15 bulan. Saudara saya juga yang sudah setahun lebih dulu (beli rumah) dari saya, rumahnya tinggal finishing, tapi benar-benar nggak di-finishing, nggak ada perkembangan lagi," ungkapnya.
Salim dan saudaranya akhirnya memutuskan untuk membatalkan pembelian rumah karena tidak sesuai dengan yang dijanjikan developer. Setelah melakukan akad pembatalan pembelian rumah pada Maret 2021, dirinya dijanjikan akan dikembalikan uang yang telah dibayarkan dalam 5 bulan.
"Akhirnya setelah akad cancel di tahun 2021 bulan Maret, kalau nggak salah, itu dijanjiin lagi 5 bulan setelah akad cancel dana dibalikin. Itupun dibalikinnya 5 kali bayar, 5 kali tahap lah nggak langsung sekaligus. Sampai di bulan ke-5 nggak ada angsuran sama sekali yang ditransfer," jelasnya.
Saat itu, Salim mulai mengira bahwa ia telah ditipu beli rumah. Sebab, ia merasa proses pembelian hingga pengembalian uangnya cukup aneh. Ia juga sempat menyambangi kantor pusat developer, namun masih belum ada hasil.
"Saya di situ sudah kayak 'aduh, kayaknya ini penipuan' soalnya gelagatnya sudah nggak beres, akhirnya saya cari kantor pusatnya, ternyata ada di Depok. Saya datang ke sana, tapi kok masuk perumahan ternyata info satpam di situ ternyata itu rumah sewa, rumahnya juga kecil paling 72 m2. Orangnya juga lama keluarnya, akhirnya setelah keluar kita ngobrol dan dijanjiin lagi 'nanti diusahain 2 bulan lagi (refund uang pembelian rumah), sebagai jaminan boleh bawa 1 unit PC yang ada di sini' katanya gitu," paparnya.
Akan tetapi, ia masih tak kunjung mendapatkan uangnya kembali setelah dijanjikan oleh pihak developer hingga akhirnya hilang kontak. Akibat hal ini Salim mengalami kerugian hingga puluhan juta.
"Kalau (kerugian) saya sekitar Rp 30 jutaan lah. Saudara saya sampai Rp 90 juta, bahkan ada juga yang sampai Rp 100 juta," tuturnya.
2. Pegawai Perumahan Resign
Dari keterangan Salim, dirinya pernah mendatangi kantor marketing perumahan tersebut. Akan tetapi, seluruh karyawannya sudah resign.
"Saya datang ke kantor marketingnya itu di perumahan itu sudah kosong, karyawannya sudah pada resign semua. Kata satpam di situ 'sudah berapa bulan gitu nggak digaji-gaji adminnya di sana, jadi ya pada berhenti semua'," katanya.
3. Modus 'Tipu-tipu' Rumah Syariah
Salim bercerita proses pembelian rumah tersebut cukup mudah. Hanya membutuhkan KTP dan KK saja tanpa perlu BI Checking. Ia juga mengungkapkan developer atau pengembang perumahan tersebut tidak terafiliasi dengan bank manapun, sehingga pembayaran cicilan langsung ke developer. Siapa sangka hal tersebut bisa menjadi modus penipuan pembelian rumah syariah.
"Memang ditransfer pembayarannya, jadi bukan pakai rekening developer. Jadi dulu tuh kalau mau bayar pakai rekening virtual, jadi konsumen bayarnya pakai virtual account, bukan nomor rekening. Virtual accountnya atas nama konsumen. Nggak ada (afiliasi sama bank), makanya itu ternyata ciri-ciri penipu," ujarnya kepada detikProperti, ditulis Kamis (7/12/2023).
"Karena ini nggak ada pihak bank, kita kalau telat bayar nggak ada denda, gitu janji manisnya. Konsepnya embel-embel syariah itu yang banyak tertarik, nggak ada BI Checking jadi walaupun BI Checking-nya jelek, masih bisa ambil (beli rumah) di situ," ungkapnya.
Di sisi lain, Salim baru mengetahui, dari segi kepemilikan tanah pun juga masih bermasalah di perumahan itu. Tanah yang dibangun jadi perumahan itu ternyata masih ada punya warga terdahulu yang belum dibalik nama menjadi developer.
"Sampai sekarang itu juga (developer) susah banget buat ditemuin. Jadi banyak sertifikat yang belum bisa balik nama, jadi masih ada yang atas nama warga lah, masih bermasalahlah intinya. Jadi sulit banget buat dijual juga karena sertifikatnya harus diurus dulu, nah yang bersangkutan ini juga susah banget buat diajak ketemuan," ungkapnya.
Salim mengungkapkan, korban dari 'tipu-tipu' perumahan ini ada ratusan. Korban-korban tersebut juga sudah melakukan berbagai upaya untuk kembali mendapatkan haknya. Namun, hingga kini masih belum berhasil.
4. Berbagai Cara Dilakukan Agar Korban Mendapatkan Haknya
Usut punya usut, ternyata Salim tak sendirian. Ada ratusan korban lainnya yang mengalami kejadian serupa.
Salim bersama para korban lainnya telah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan kembali haknya, misalnya menempuh jalur hukum dan bekerja sama dengan perangkat desa.
"Sekarang juga kita ini konsumen ada bikin grup untuk nuntut segala macam lah. Sudah ada yang lewat pengadilan juga, itu juga 'mental' kabarnya. Kita juga lagi usahain kerja sama dengan perangkat desa," ungkapnya.
Tak hanya itu, dari keterangan Salim, saat ini juga sudah ada beberapa yang melapor ke polisi terkait hal ini. Namun, masih belum ada titik terang.
"Sudah (lapor polisi) pihak lain (korban lain) juga banyak yang lapor, tapi infonya mental semua (tidak lanjut), di pengadilan juga begitu," katanya.
Salim mengungkapkan, dari seorang advokat memberikan saran untuk meminta uang kembali setelah ada developer lain yang mengambil alih perumahan tersebut. Istilahnya alih developer, kata Salim. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum ada titik terang akan hal tersebut. Tak muluk-muluk, Salim hanya berharap uangnya bisa kembali ke dirinya.
"Harapannya sih rumah terjual, ada developer baru (yang mau beli), dan uang kembali. Karena kalau lanjut tinggal di situ sudah tidak ada minat," ujarnya.
(abr/dna)