Konflik agraria yang bergulir di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau mengundang tanya banyak pihak tentang permasalahan mendasar yang menjadi duduk perkara yang berujung bentrok warga dan petugas tersebut.
Jokowi Gelar Ratas dan Beri Arahan Selesaikan Konflik Rempang
Saking kusutnya permasalahan ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sampai menggelar rapat terbatas (Ratas) dengan sejumlah menteri terkait untuk membahas konflik agraria di Rempang.
Hasilnya, ada sejumlah arahan Jokowi yang disampaikan lewat Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tadi Bapak Presiden dalam arahan rapat pertama adalah untuk penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan secara baik secara betul-betul kekeluargaan. Dan tetap mengedepankan hak-hak dan kepentingan masyarakat di sekitar di mana lokasi itu diadakan," kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia seusai rapat bersama Jokowi di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/9/2023) kemarin.
Jokowi, kata Bahlil, juga meminta agar penyelesaian persoalan di Pulau Rempang melibatkan kementerian lainnya.
"Kedua kami diberikan tugas langsung oleh Pak Presiden dan tugas ini sebenarnya sudah terjadi dalam beberapa hari yang lalu untuk menyelesaikan persoalan ini dengan baik dengan melibatkan kementerian lain," ujarnya.
Duduk Perkara Konflik Agraria di Rempang
Dalam catatan detikcom, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md sudah mengungkap bahwa konflik yang terjadi lantaran adanya kekeliruan dan kesalahan di lingkup pemerintah pusat dan daerah dalam hal pencatatan hak atas tanah yang merupakan calon lokasi pembangunan Rempang Eco-City.
Mahfud mengatakan surat keputusan (SK) terkait hak guna usaha tanah Pulau Rempang itu sebenarnya sudah dikeluarkan sejak 2001. Namun, ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah itu, Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan, untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang, itu tahun 2001, 2002," terang Mahfud.
Permasalahan, lanjut Mahfud, timbul lantaran tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok oleh pemegang HGU.
Dalam perjalanannya, terbit hak baru yang diberikan kepada penduduk di beberapa desa yang digunakan sebagai penegasan hak mereka atas lahan yang mereka tinggali saat ini.
Hal itu terjadi dalam rentang tahun 2004 dan seterusnya menyusul terbitnya beberapa keputusan, diberikan hak baru atas tanah itu kepada orang lain untuk ditempati.
"Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada tahun 2001, 2002 secara sah," imbuh Mahfud.
Di sini lah permasalahan muncul. Penduduk merasa memiliki hak secara sah untuk tinggal di lokasi tersebut karena sudah ditegaskan dalam bentuk keputusan pemerintah, namun di sisi lain dijelaskan pula bahwa hak dalam bentuk HGU telah diberikan agar Rempang dimanfaatkan sebagai lokasi Rempang Eco-City sejak 2001.
Mahfud kemudian menjelaskan kondisi saat investor masuk di 2022 lalu, di mana ternyata tanah yang didiamkan selama ini tersebut sudah ditempati pihak lain. Oleh sebab itu, Mahfud berpendapat kesalahan ada di pemerintah setempat dan KLHK.
"Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sutter-nya, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," jelas dia.
(dna/dna)