Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) terus menggalakkan Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Namun, kenyataannya, masih banyak ditemukan pemukiman kumuh di perkotaan.
Program BSPS yang merupakan bagian dari Program Sejuta Rumah (PSR) ini bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap rumah layak huni dan terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang berpenghasilan formal maupun informal.
Pemerhati Lingkungan dan Kawasan Pemukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), M. Jehansyah Siregar, mengatakan bahwa ada tiga kriteria pemukiman kumuh, yaitu (1) bangunannya substandar atau tidak layak; (2) prasarana pemukiman tidak memadai, seperti ketiadaan saluran, sanitasi, air bersih; dan (3) status tanah yang tidak jelas dan rawan sengketa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semestinya tiga masalah ini yang ditangani untuk menata rumah yang tidak layak maupun kawasan kumuh perkotaan," papar M. Jehansyah Siregar, Pemerhati Lingkungan dan Kawasan Pemukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), kepada detikcom belum lama ini.
Jehansyah menilai bahwa Program Badan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang merupakan bagian dari PSR tidak bisa dihitung sebagai pengurang angka backlog. Hal ini karena rumah yang dibedah tersebut sudah dimiliki dan hanya diperbaiki kualitasnya.
"Karena itu program BSPS atau bedah rumah tidak bisa dihitung sebagai pengurang angka backlog karena rumah itu sudah dimiliki dan hanya diperbaiki kualitasnya," sambung Jehansyah.
Menurut Jehansyah, permasalahan perumahan rakyat sejatinya adalah ketidakmampuan masyarakat tersebut menjangkau hunian di perkotaan.
"Yang terjadi sekarang itu unaffordability di perkotaan, makanya muncul pemukiman kumuh. Orang sewa kemahalan sehingga pindah-pindah kontrakan. Orang muda pekerja tidak bisa menjangkau perumahan. Makanya, munculah public rental housing, assisted self-help housing atau rumah swadaya. Peran pemerintah di situ," kata Jehansyah.
Perhitungan program yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sejak 29 April 2015 ini dinilai keliru. Selama ini, capaian program tersebut dihitung dari seluruh pembangunan perumahan, baik dari kalangan pengembang, pemerintah daerah, berbagai instansi, maupun masyarakat sendiri.
"Tidak bisa semua stakeholder dikumpulkan kemudian semua kinerjanya diklaim sebagai capaian program, salah kaprah menghitung seperti itu," pungkas Jehansyah.
(dna/dna)