The White House, atau Gedung Putih, merupakan istana kepresidenan Amerika Serikat. Gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Presiden AS dan keluarganya selama menjabat sebagai presiden. Tak banyak yang tahu bahwa gedung ini memiliki sebuah bunker rahasia.
Melansir CNN, Minggu (10/9/2023), pembangunan bunker ini diprakarsai oleh Presiden AS ke-32, Franklin D. Roosevelt, sebagai tanggapan atas serangan Pearl Harbor pada tahun 1941. Roosevelt memulai proyek ini dengan memperluas ruang bawah tanah yang cenderung lebih mirip dengan tempat perlindungan serangan udara alih-alih bunker. Menurut buku kontributor CNN berjudul Raven Rock karya Garrett Graff, ada dua proyek sekaligus yang saat itu dikerjakan: pertama, langsung di bawah Gedung Putih dan kedua, di sepanjang jalan menuju brankas Departemen Keuangan.
"Bunker Gedung Putih adalah kebutuhan mutlak selama Perang Dunia II. Kami takut Jerman akan mencoba meledakkan Washington, D.C. ... Jerman sedang membuat roket. Sasarannya tepat di Gedung Putih," ungkap Sejarawan Kepresidenan CNN, Douglas Brinkley, dalam sebuah wawancara, sebagaimana dikutip dari CNN, Minggu (10/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya, pihak keamanan Gedung Putih memutuskan bahwa bunker pun tidak cukup aman sehingga Roosevelt memulai perjalanannya ke tempat peristirahatan rahasia di Pegunungan Maryland yang dijulukinya 'Shangri-La'. Saat ini, tempat tersebut dikenal dengan sebutan 'Camp David'.
"Tidak ada yang tahu bahwa FDR tidak berada di Gedung Putih. Orang-orang mengira dia sedang beroperasi dari bunker ketika dia sering berada di Hutan Maryland. Ada pertahanan ganda dengan memiliki bunker di Gedung Putih dan Camp David," kata Brinkley.
Pada masa kepresidenan Harry S. Truman, bunker ini direnovasi secara besar-besaran menjadi tempat perlindungan bom sehari sebelum pasukan Amerika menginjakkan kaki di Korea Selatan. Berdasarkan buku The Hidden White House karya Robert Klara, ajudan angkatan laut Truman menulis kepada komisi yang mengawasi renovasi bahwa perubahan dilakukan pada tingkat ruang bawah tanah Gedung Putih dengan karakteristik yang dapat memberikan perlindungan atau keamanan tambahan. Sebagian besar renovasi tetap tersembunyi.
Serangan 9/11
Sejarawan kepresidenan, Timothy Naftali, mengungkapkan bahwa sebelum serangan teroris 9/11, rencana utamanya adalah memindahkan presiden dari Gedung Putih ketika terjadi ancaman, bukan menyembunyikannya di dalam bunker. Namun, mengingat ancaman dari serangan 9/11 bisa datang kapan saja, maka tidak cukup waktu untuk mengeluarkan presiden dari Gedung Putih.
"Dalam Perang Dingin, akan ada peringatan mengenai serangan nuklir Soviet. Peringatan itu tidak akan banyak, paling lama hanya beberapa menit. Tetapi tetap akan ada peringatan. Setelah peristiwa 9/11, saya menduga, dengan serangan yang datang dari dalam Amerika Serikat, tidak ada lagi waktu yang cukup untuk mengeluarkan presiden dari gedung," kata Naftali dalam sebuah wawancara dengan CNN.
Penggunaan paling terkenal dan tercatat dari bunker Gedung Putih adalah selama serangan teroris 9/11. Menurut Letnan Kolonel Robert J. Darling, ketika Gedung Putih mengetahui ada pesawat yang dibajak dalam perjalanan menuju Washington, DC, personel Gedung Putih langsung berlindung di bunker tersebut.
Sebuah memoar dari Laura Bush, istri Presiden AS ke-43, George W. Bush, menggambarkan momen tersebut ketika dia dan lainnya dibawa ke dalam bunker melalui pintu baja besar yang ditutup rapat untuk menjaga keamanan mereka. Bunker ini dirancang untuk menjadi pusat komando selama situasi darurat, dilengkapi dengan televisi, telepon, dan fasilitas komunikasi.
"Kami berjalan di sepanjang lantai ubin tua dengan pipa-pipa yang menggantung di langit-langit dan segala macam peralatan mekanis. PEOC dirancang untuk menjadi pusat komando selama keadaan darurat, dengan televisi, telepon, dan fasilitas komunikasi," tulis mantan ibu negara tersebut.
Proyek konstruksi besar-besaran di bawah tanah Gedung Putih pada tahun 2010 memunculkan pertanyaan mengenai pemeliharaan jaringan bunker tersebut. Proyek ini mencapai biaya sekitar $376 juta atau setara dengan Rp 5,6 triliun dan diperkirakan mencakup pembaruan sistem bunker, meskipun detailnya tetap menjadi rahasia.
Penggunaan bunker dalam situasi ancaman sebagai tempat persembunyian presiden menimbulkan berbagai respons. Salah satunya mengundang pertanyaan tentang pemahaman presiden terhadap sifat demonstrasi. Demonstran tidak bertujuan menciptakan kekerasan, melainkan memprotesnya.
"Saya pikir publik akan menghormati seorang presiden yang pergi ke daerah yang aman jika publik juga merasakan adanya ancaman dan bahaya. Namun alasan Presiden dikritik, dan alasan Presiden mundur dan berusaha menyangkal bahwa ia pergi ke bunker, adalah karena persepsinya tentang ancaman dan bahaya terhadap keamanan nasional Amerika tidak sama dengan persepsi sebagian besar orang," kata Naftali.
Buat detikers yang punya permasalahan seputar rumah, tanah atau properti lain, tim detikProperti bisa bantu cari solusinya. Kirim pertanyaan kamu vie email ke redaksi@detikproperti.com dengan subject 'Tanya detikProperti', nanti pertanyaan akan dijawab oleh pakar.
(zlf/zlf)