Seiring tingginya harga tanah di Jakarta dan kawasan penyangga, desain rumah minimalis modern jadi pilihan pengembang membangun proyek pemukiman dengan beberapa tipe luas tanah. Beberapa ukuran tanah dan bangunan yang populer di kalangan menengah yaitu tipe 60 sampai 72 dengan harga kisaran di bawah Rp 500 juta.
Namun sering kali karena desain bangunan minimalis modern dibangun di lahan yang kurang luas. Bangunan itu kurang sirkulasi udara dan mengandalkan AC. Mengenai hal tersebut Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI) Iwan Prijanto menjelaskan, rata-rata rumah di Indonesia sejak zaman dulu memiliki konsep berdialog dengan iklim sehingga rumah-rumah di zaman dulu terdapat banyak bukaan berupa pintu sampai jendela.
"Namun konsep itu hilang akibat rumah yang dibangun developer yang supaya interior rumah adem menggunakan AC akhirnya dialog dengan iklim itu terputus," jelas dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara saat ini perubahan iklim semakin nyata seperti pemanasan global, hujan ekstrem, suhu panas menyengat, kekeringan, longsor, banjir sudah terjadi di beberapa kawasan. Hal itu terjadi karena emisi gas rumah kaca akibat penggunaan energi fosil digunakan berlebihan.
Mengingat pengggunaan listrik di Indonesia saat ini dikonsumsi dari hasil bakaran PLTU batu bara yang menjadi penyumbang emisi karbon. Ia meminta semua pihak untuk menerapkan energy efficiency dengan penciptaan desain bangunan yang merespon alam seperti dulu.
Ia menjelaskan, sangat penting menerapkan konsep green pada bangunan karena bangunan penyumbang emisi terbesar mencapai 39 persen. 11 persen dari bahan bangunan dan 28 persen dari konstruksi bangunan, sebagian besar bangunan juga berupa rumah tinggal yang dimiliki perorangan, makanya konstruksi bangunan dan pemilihan bahan bangunan sangat penting.
"Kita harus menyambung kembali dialog dengan iklim yang terputus selama beberapa dekade terakhir khususnya akibat pengembangan ataupun aktivitas dari developer. Hal ini tentu tidak mudah karena sasaran edukasi bukan hanya dari sisi suplai (produsen) tapi juga demand (masyarakat pemilik bangunan). Bagaimana di era serba instan dan malas bisa melalui proses ini untuk meyakinkan semua orang agar mau memilih atau merancang rumah yang lebih ramah lingkungan," kata dia.
Adapun Principal Architect Archimetric Ivan Priatman menjelaskan, untuk suhu yang nyaman bagi tubuh itu berkisar 24-25 derajat dengan tingkat kelembaban 50 persen dan ini nyaman untuk iklim tropis. Sementara suhu di luar rumah mencapai 30 persen lebih tinggi dengan tingkat kelembaban hingga 80 persen, ini yang membuat kita tidak nyaman atau merasa gerah.
"Di perkotaan untuk mengatasi persoalan itu dengan cara instan yaitu memasang AC di rumah. Padahal penggunaan AC yang masif akan semakin meningkatkan konsumsi energi dan emisi yang berujung pada iklim yang kian menyengat," kata dia.
Ia menejelaskan, masyarakat juga tidak bisa mengisolasi diri terus menerus dan membuat iklim mikro yang nyaman di rumah masing-masing. Makanya penting menciptakan desain bangunan dan pilihan material yang bisa menurunkan suhu tanpa meningkatkan konsumsi energi, salah satunya lewat rancangan atap. Atap menjadi bagian penting dari tropical passive design selain juga dinding.
"Jadi itu tantangannya, bagaimana kita tetap bisa hidup nyaman di iklim tropis tanpa terlalu tergantung pada AC. Yaitu dengan menciptakan desain konstruksi bangunan dan pilihan material yang bisa menurunkan suhu itu tanpa meningkatkan penggunaan energi dengan penerapan tropical passivedesignitu," imbuh dia.
(dna/zlf)