Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah dalam penyediaan rumah, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Mulai dari bantuan rumah swadaya, pemberian KPR subsidi, dan lainnya.
Dalam rangka mempercepat pembangunan perumahan rakyat, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah juga mengeluarkan serangkaian kebijakan terobosan di bidang pembiayaan perumahan. Pertama, melalui Skema Sewa-Beli (Rent-To-Own).
Melalui skema ini, proses pengajuan pembelian rumah dilakukan dengan cara kesepakatan untuk menyewa sebuah properti dengan komitmen pasti untuk membelinya sampai jangka waktu yang ditentukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, Skema Kepemilikan Bertahap (Staircasing Ownership), yaitu KPR Subsidi dengan skema kepemilikan secara bertahap. Pada tahap pertama dalam bentuk Sewa dan KPR, lalu pada tahap kedua murni KPR.
Kedua inovasi pembiayaan ini terutama diperuntukan pada MBR, terutama yang berada di kota-kota yang memang rasio backlog atau kesenjangan antara kepemilikan dan ketersediaan rumahnya lebih tinggi dibanding MBR di pedesaan. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence, Sunarsip menilai inovasi tersebut cukup baik untuk penyediaan rumah bagi MBR.
Meski demikian, menurut Sunarsip akan lebih baik lagi jika kalangan MBR informal, yaitu mereka yang tidak punya penghasilan tetap, juga bisa menikmati fasilitas tersebut. Sebab, peraturan yang ada saat ini sangat sulit bagi MBR informal mengikuti program kepemilikan rumah dari pemerintah.
Sunarsip mengusulkan beberapa hal agar semua MBR memiliki kesempatan yang sama dalam memiliki rumah.
1. Adanya perubahan dalam sistem penilaian (assessment dan scoring) terkait dengan pengukuran kapasitas MBR calon penerima program
Hal ini karena, metode credit scoring yang tersedia saat ini belum mengakomodir karakteristik kelompok MBR informal yang "unbankable" atau tidak memenuhi syarat perbankan. Kelompok MBR informal (pekerja maupun pengusaha informal) pada umumnya memiliki penghasilan yang tidak tetap dan tidak terpola. Kondisi inilah yang pada akhirnya menempatkan kelompok MBR informal ini sebagai unbankable.
"Bank itu rata-rata mengukur kemampuan bayar seseorang berdasarkan penghasilan tetap. Penghasilannya berapa yang bisa diukur secara pasti, sementara pekerja informal itu penghasilannya tidak tetap," tuturnya dalam Webinar Prospek dan Tantangan Pembiayaan Perumahan Rakyat, Khususnya Masyarakat Berpenghasilan Kecil (MBR) secara virtual, Selasa (11/7/2023).
Apabila dilakukan profiling secara lebih spesifik, cukup banyak dari kelompok MBR informal ini yang memiliki kapasitas membayar relatif tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan metode credit scoring yang memungkinkan kelompok MBR informal ini dapat mengakses pembiayaan perumahan dari perbankan.
Sunarsip mengusulkan agar perbankan dapat menggunakan aspek pengeluaran (expenditure) untuk mengukur borrowing capacity pada kelompok MBR informal. Pengukuran berbasis data pengeluaran ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan data belanja calon debitur yang dapat ditangkap (captured) dari big data berdasarkan transaksi belanja yang pembayarannya dilakukan secara digital.
Dengan demikian, calon debitur terlebih dahulu telah terkoneksi dengan perbankan melalui rekening tabungan. Adapun konsekuensi dari penerapan metode pengukuran berbasis pengeluaran ini, maka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengatur mekanisme penggunaan metode internal credit scoring yang memanfaatkan big data tersebut sebagai metode baku dan diizinkan oleh OJK untuk diterapkan perbankan.
2. Mendorong penggunaan QRIS
BI bersama perbankan perlu mendorong implementasi QRIS khususnya kepada para pelaku ekonomi kecil, misalnya pada merchant atau pedagang pasar. Tujuannya, untuk memudahkan masyarakat, termasuk MBR informal dalam melakukan transaksi pembayaran secara digital. Semakin masif penggunaan QRIS akan semakin banyak pula data digital dari calon debitur KPR yang dapat di-capture oleh perbankan untuk dianalisis.
3. Mendorong kelompok MBR punya tabungan
Sunarsip menyarankan pemangku kepentingan untuk mendorong MBR mempunya tabungan, baik melalui bank yang secara khusus menjadi penyalur KPR bersubsidi maupun lembaga pengelola tabungan perumahan lainnya seperti BP Tapera. Hal itu karena Kementerian PUPR telah memiliki program bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) bagi kelompok MBR informal.
"Keberadaan program ini dapat menjadi pintu masuk bagi implementasi digitalisasi calon debitur KPR bersubsidi dari kelompok MBR informal tersebut," paparnya.
4. Ajak BUMD dalam skema sewa-beli
Terkait skema sewa-beli hunian, hingga saat ini pemerintah tengah mencari agregator atau perusahaan yang memiliki aset dan menghubungkan penyewa kepada lembaga keuangan yang memiliki jasa pembiayaan sewa-beli. Untuk mengatasi hal tersebut, Sunarsip menyarankan untuk mengajak badan usaha milik daerah untuk ikut menjalankan skema sewa-beli.
"Jadi memang agregator kalau konteksnya ke swasta agak susah, tapi dengan memanfaatkan BUMN-BUMD itu lebih memungkinkan karena kalaupun itu mau melibatkan bantuan subsidi dari pemerintah, yang terima kan ujungnya BUMN-BUMD punya pemerintah sendiri, itu akan lebih mudah terapkan," ungkapnya.
(dna/dna)