Di awal masa kemerdekaan Indonesia, masyarakat mulai membangun rumah dengan mengusung gaya arsitektur yang khas, namanya arsitektur jengki. Desain bangunan ini sempat populer pada 1950-1960an.
Tak hanya sekadar desain, arsitektur jengki juga memiliki makna tersendiri. Dalam artikel berjudul Arsitektur Jengki: Bergeometri yang Kreatif oleh Gatot Adi Susilo, arsitektur jengki tercipta dari semangat masyarakat Indonesia untuk membebaskan diri dari pengaruh penjajah, khususnya dalam hal arsitektur modern Belanda.
Dilansir dari situs Binus University, menurut Prof. Dr. Josef Prijotomo sebagian besar pencetus arsitektur jengki adalah lulusan STM yang pernah menjadi aannemer (ahli bangunan) di perusahaan Belanda. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, banyak arsitek Belanda yang harus pulang kampung ke negaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hadirnya arsitektur jengki merupakan bentuk tegas bangsa Indonesia agar tidak mengikuti budaya Eropa dan Belanda, terutama pada desain bangunan. Langkah ini juga menegaskan era modern di awal kebangkitan Indonesia setelah dijajah.
Ciri Khas Arsitektur Jengki
Arsitektur jengki seolah menunjukkan kebebasan dan keberanian dalam menggunakan bentuk-bentuk geometris. Salah satunya dari penggunaan atap pelana pada gaya jengki, terlihat sebagai perpaduan geometris persegi di bagian bawah dan segitiga pada bagian atas.
Di sisi lain, atap arsitektur jengki juga dilengkapi lubang angin yang berfungsi sebagai sistem ventilasi. Tujuannya agar interior rumah tetap sejuk meski cuaca sedang panas.
Masih mengutip dari laman Binus University, rumah dengan gaya jengki memiliki dinding yang dibuat miring sehingga membentuk geometri segi lima terhadap tampak bangunan. Dinding tersebut tidak terikat langsung terhadap fondasi rumah, tapi lebih ke nilai estetika.
Penggunaan bahan bangunan juga diperhatikan untuk menunjang geometri dan estetika bangunan. Maka dari itu, arsitektur jengki kerap menggunakan batu hias yang dipasang dengan bahan lain atau plesteran biasa, sehingga menciptakan garis atau bidang.
Dikutip dari situs Kemenparekraf, ciri khas dari arsitektur jengki adalah bagian atap rumah. Tingginya tidak seimbang dan memiliki pola yang tidak proporsional.
Selain itu, rumah bergaya jengki memiliki ukuran teras yang luas serta menggunakan roster pada fasadnya. Selain berfungsi sebagai sirkulasi udara, pemasangan roster juga bertujuan untuk memaksimalkan pencahayaan alami sekaligus menjadi elemen yang unik.
Interior rumah jengki umumnya mengusung konsep terbuka. Artinya, tidak ada batasan tertentu antara satu ruangan dengan ruangan lainnya. Ciri khas dari interior jengki adalah menggunakan material besi dan kayu asli Indonesia.
Rumah jengki juga identik dengan portico, yakni serambi beratap di pintu masuk rumah dan atapnya ditopang oleh sejumlah tiang. Dahulu, beranda rumah memiliki ukuran luas dan serasi dengan teras rumah, sehingga penghuni bisa menjamu tamu dengan jumlah banyak di beranda.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(ilf/abr)